Terbebas dari ”Penjara” Sekolah
Oleh: Edy Firmansyah
Judul : Dunia Tanpa Sekolah
Penulis : M. Izza Ahsin
Penerbit : Read! Publishing House (Kelompok Mizan), Bandung
Cetakan : I, 2007
Tebal : 252 Halaman
Kita boleh saja tak percaya kalau buku ini ditulis seorang anak berusia 15 tahun. Tulisan dalam buku ini begitu jernih dan runut. Membaca buku ini seperti mengalami sendiri cerita didalamnya. Seakan-akan buku ini adalah tulisan seorang pengarang ’profesional’ yang telah lama malang melintang di dunia tulis menulis. Disamping itu, tema yang diambil cukup berat untuk ukuran anak-anak; Pendidikan (baca: sekolah). Tapi benar, Izza, penulis cilik itu, berhasil menyuguhkan tema yang berat itu dalam sebuah buku yang mengesankan. Pantas jika Hernowo dan Jazimah Al-Muhyi—keduanya penulis buku-buku best seller—memuji buku ini.
Oleh: Edy Firmansyah
Judul : Dunia Tanpa Sekolah
Penulis : M. Izza Ahsin
Penerbit : Read! Publishing House (Kelompok Mizan), Bandung
Cetakan : I, 2007
Tebal : 252 Halaman
Kita boleh saja tak percaya kalau buku ini ditulis seorang anak berusia 15 tahun. Tulisan dalam buku ini begitu jernih dan runut. Membaca buku ini seperti mengalami sendiri cerita didalamnya. Seakan-akan buku ini adalah tulisan seorang pengarang ’profesional’ yang telah lama malang melintang di dunia tulis menulis. Disamping itu, tema yang diambil cukup berat untuk ukuran anak-anak; Pendidikan (baca: sekolah). Tapi benar, Izza, penulis cilik itu, berhasil menyuguhkan tema yang berat itu dalam sebuah buku yang mengesankan. Pantas jika Hernowo dan Jazimah Al-Muhyi—keduanya penulis buku-buku best seller—memuji buku ini.
Apa yang ditulis Izza tentang sekolah? Di mata Izza sekolah bukanlah sebuah lembaga suci yang wajib dimasuki semua anak-anak. Bahkan saking ’suci’nya orang tua rela menggadaikan barang tiap menjelang tahun ajaran baru hanya agar anaknya bisa merasakan bangku sekolah. Sekolah menurut penulis buku ini justru tak jauh beda dengan penjara. Ia hadir untuk membelenggu kebebasan berpikir dan berimajinasi.
Sistem Kebut Semalam (SKS) yang dilakukan siswa setiap menjelang ujian, telah membeberkan kelemahan pendidikan formal kita. Ya, dengan jadwal ujian yang sudah bikin pusing, serta kegiatan pelajaran tambahan di sore hari, murid tidak akan mampu mencapai level merenung. Jangankan merenung, bepikirpun tidak. Yang terjadi kemudian, ujian kerap diwarnai dengan berbagai macam kecurangan. Bahkan mungkin, kecurangan itu akan berlanjut hingga dewasa ketika kebetulan mereka menjadi pejabat, baik kelas tinggi maupun kelas rendah. Korupsi, Kolusi dan nepotisme. Ketiga telah menjadi tren dan memungkinkan negara ini mencapai ’prestasi’ tinggi sebagai negara terkorup nomor tiga di dunia!(Hal.95). Karenanya jalan satu-satunya agar mampu mengembangkan imajinasi dan kebebasan berpikir secara optimal adalah keluar dari sekolah.
Dalam buku ini Izza menceritakan bagaimana pahit getir perjuangannya mewujudkan keinginannya itu; hengkang dari sekolah dan total mengembangkan bakat menulisnya yang sarat dengan imajinasi dan kebebasan berpikir secara optimal. Sebab di mata penulis belia ini tak mungkin seseorang mampu menjadi profesional jika diharuskan menguasai segala disiplin ilmu seperti; Matematika, fisika, biologi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPS (yang terdiri dari pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi), olah raga, kesenian dan sebagainya dalam satu waktu yang bersamaan.
Kalau anda pernah membaca karya Tetsuko Kuroyanagi berjudul Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela atau A Child Called It karya Dave Pelzer, maka buku yang ditulis Izza memiliki gaya bertutur yang mirip dengan buku-buku tersebut. Bedanya jika Kuroyanagi dan Pelzer menulis pengalaman masa kanak-kanaknya ketika dewasa, Izza justru sebaliknya. Ia menulis perjalanan hidupnya saat masih belia.
Memang keinginan tersebut tidak berjalan mulus. Adalah kedua orang tuanya yang justru menjadi penetang paling sengit atas keputusan ’gila’ itu. Dan semenjak Izza melontarkan keputusan ’gila’nya itu hari-harinya seakan seperti neraka. Pertengkaran dengan orang tua kerap terjadi. Bahkan untuk melampiaskan emosinya sang ayah tak segan-segan membanting barang-barang yang ada di rumah. Tapi Izza tetap bergeming dengan keinginannya. Bahkan tawaran win-win solution dari kedua orang tuanya ditepisnya. Orang tua Izza yang notabene adalah pendidik mengharap Izza mampu mengembangkan bakat menulis, tetapi tak harus putus sekolah.
Apa jawaban Izza atas saran itu? Memaksa diri menjalani dua kegiatan (sekolah dan menulis) dijalani bersamaan hal itu tak jauh beda dengan pelari yang menggunakan sebelah kakinya. Sangat tidak efektif. Padahal seorang Psikolog kelas dunia pernah mengatakan bahwa pelajaran di sekolah pada pendidikan dasar sekarang ini hanya mengotori otak karena melupakan hal-hal yang esensial seperti character building atau pelejitan actus para siswa.(hal. 35). ”Meninggalkan sekolah bukan berarti meninggalkan Allah! Bukan berarti menjadi kafir atau berpaling dari agama,” itulah salah satu komentar Izza ketika beradu mulut dengan orang tuanya.
Pengalaman pribadi Izza ini mirip sekali dengan buku-buku yang menghujat sekolah semisal, school is dead-nya (sekolah telah mati) Everett Riemer, ”Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah,” karya Ivan Illich yang termasyur, serta ”Sekolah itu Candu’-nya Roem Topatimasang. Maklum Izza adalah pembaca buku yang rakus terutama buku-buku pendidikan.
Akhirnya setelah mengalami perseteruan panjang, orang tuanya pun luluh. Izza diberi kebebasan memilih jalan hidupnya sendiri. Dan buku yang berada di tangan pembaca ini adalah karya pertama Izza yang dipublikasikan secara luas setelah ia drop out.
Memang kritik Izza terhadap dunia pendidikan tak akan banyak berpengaruh. Seperti kata pepatah; anjing menggonggong, khafilah berlalu. Sekolah masih saja dibanjiri para pendafatar tiap tahun ajaran baru. Bahkan orang tua siswa harus rela menggadaikan barang hanya agar anaknya bisa menrasakan ’nikmatnya’ bangku sekolah.
Meski demikian hadirnya buku ini jelas menjadi tamparan telak terhadap dunia pendidikan kita yang semakin coreng-moreng. Ditengah dunia akademik—yang notabene menjadi garda depan dunia-menulis—dicemari oleh prilaku plagiasi, ghost writers, jual beli skripsi, tesis dan desertasi akibat kemalasan literasi, kita justru disuguhi kisah hidup penulis cilik yang anti sekolah. Selamat membaca.
TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Penikmat Buku. Redaktur Majalah FOKUS. Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/.