Hilangnya Pamor Agen Perubahan
Oleh: Edy Firmansyah
Judul : Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era
Kapitalisme dan Hedonisme
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Yogyakarta (Ar-Ruzz Media Group)
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 184 Halaman
Kaum muda (baca: Mahasiswa) selalu diperhitungkan keberadaannya oleh sejarah dimanapun. Sebab mahasiswa merupakan variabel penting yang berperan dalam segala proses perubahan. Ini terbukti ketika kita melihat beberapa babakan sejarah, gerakan kaum muda telah memainkan peranan penting menjadi barisan terdepan yang selalu meneriakkan tuntutan atas berbagai perubahan dan keadilan sosial. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat mulai dari berdirinya Budi Oetomo, ikrar sumpah pemuda 1928, hingga yang masih mengemuka saat ini adalah gerakan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru pada tahun 1998. Jadi, merupakan sebuah kewajaran seseorang kemudian bangga menjadi mahasiswa.
Namun yang terjadi saat ini justru kebalikan dari semua itu. Mahasiswa Indonesia tidak lagi bercitra sebagai kaum intelektual, pembela rakyat atau aktivis perubahan (agent of change). Yang ada justru mahasiswa yang berpikiran prakmatis-oportunistik. Dimana dalam benak mereka menjadi mahasiswa berarti sebuah jalan lempang mendapatkan pekerjaan. Titik. Sehingga ketika ditanya tentang bagaimana dengan nasib masyarakat yang terus didera penderitaan, mulai dari melambungnya harga kebutuhan pokok, pendidikan mahal, kesehatan mahal, hingga fenomena gizi buruk, pengangguran serta kemiskinan yang makin meluas? Jawabannya sungguh menyakitkan. “Persetan dengan mereka semua!”
Parahnya lagi, maraknya berita mengenai keterlibatan mahasiswa dengan narkoba, tawura antar mahasiswa, hingga prilaku sex bebas dikalangan mahasiswa menambah daftar panjang keterpurukan mahasiswa di negeri ini.
Adalah kekuatan kapitalis yang membuat mahasiswa kehilangan pamornya sebagai agen perubahan. Lewat kisah sinetron, opera sabun dan juga acara reality show, misalnya, mahasiswa digambarkan tak lebih sebagai kaum muda yang hanya sibuk mengejar urusan ’cinta’ dan pergaulan saling berburu pasangan dengan dramaturgi yang berlebihan. Dalam kisah sinetron, misalnya, kampus hanya menjadi aktivitas kisah ’cinta sempit’ yang bernama ’pacaran’ dengan warna gaya hidup yang menonjolkan syahwat.
Adalah kekuatan kapitalis yang membuat mahasiswa kehilangan pamornya sebagai agen perubahan. Lewat kisah sinetron, opera sabun dan juga acara reality show, misalnya, mahasiswa digambarkan tak lebih sebagai kaum muda yang hanya sibuk mengejar urusan ’cinta’ dan pergaulan saling berburu pasangan dengan dramaturgi yang berlebihan. Dalam kisah sinetron, misalnya, kampus hanya menjadi aktivitas kisah ’cinta sempit’ yang bernama ’pacaran’ dengan warna gaya hidup yang menonjolkan syahwat.
Dengan lain kata, tugas dan peran berat mahasiswa dalam pusaran sejarah sebuah bangsa mulai dikaburkan dan kemudian digantikan dengan citra sebagai segelintir kaum muda yang eksklusif dengan hidup yang penuh suka ria. Sedangkan kampus tak lebih sebagai menara gading kekuasaan pasar (modal) dimana aktivitas mahasiswa hanya berkutat pada kuliah, makan, belanja, kencan dan Seks.
Karenanya sungguh sulit rasanya mencari misalnya; mahasiswa Antrologi yang memiliki cita-cita membuat field work di pedalaman Kalimantan atau Irian Barat. Atau seorang mahasiswa sosiologi yang bercita-cita menjadi organisator masyarakat lokal dalam upaya membendung arus induatrialisasi. Atau mahasiswa hukum yang memiliki ide-ide yang sarat rule of law.
Kondisi inilah yang menjadi bahasan utama Buku Nurani Soyomukti ini. Sarjana Sospol Universitas Jember ini menilai apa yang menerpa mahasiswa saat ini sebenarnya mengingkari sejarah. Pasalnya, sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah perubahan bagi terciptanya keadilan sosial (Hal.76).
Dengan mengggunakan analisa marxis, Soyomukti mengurai rantai kapitalisme yang membuat mahasiswa kehilangan elan vital dan predikatnya sebagai mahasiswa sejati. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan melakukan penindasan kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan, dan pengetahuan dijauhkan, siapapun akan menjadi rombongan mahkluk idiot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai, dan ditindas demi kepentingan segelitir elit (modal) yang memegang kekuasaan (hal. 24).
Dengan mengggunakan analisa marxis, Soyomukti mengurai rantai kapitalisme yang membuat mahasiswa kehilangan elan vital dan predikatnya sebagai mahasiswa sejati. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan melakukan penindasan kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan, dan pengetahuan dijauhkan, siapapun akan menjadi rombongan mahkluk idiot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai, dan ditindas demi kepentingan segelitir elit (modal) yang memegang kekuasaan (hal. 24).
Nah, jika keadaan ini dibiarkan tentu akan menjadi preseden buruk bagi bangsa ini. Pasalnya, mahasiswa masih menjadi ujung tombak bagi masa depan, karena ditangan merekalah tongkat estafet bangsa ini disematkan.
Karenanya Soyomukti mengatakan penting untuk segera menancapkan pendidikan multikulturalisme sedini mungkin sebagai dasar pembuatan kebijakan dan cara memandang persoalan. Multikultralisme yang ditawarkan dalam buku ini adalah Multikulturalisme budaya dan ekonomi. Dalam budaya, ketika dihadapkan dengan berbagai macam etnik, agama dan aspek kutral masyarakat yang beragam, pendidikan mampu menciptakan manusia yang menghargai perbedaan. Sedangkan dalam multikuturalisme ekonomi, pendidikan juga harus mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan dan mengentaskan mereka menuju keadilan dan kesejahteraan.
Karenanya Soyomukti mengatakan penting untuk segera menancapkan pendidikan multikulturalisme sedini mungkin sebagai dasar pembuatan kebijakan dan cara memandang persoalan. Multikultralisme yang ditawarkan dalam buku ini adalah Multikulturalisme budaya dan ekonomi. Dalam budaya, ketika dihadapkan dengan berbagai macam etnik, agama dan aspek kutral masyarakat yang beragam, pendidikan mampu menciptakan manusia yang menghargai perbedaan. Sedangkan dalam multikuturalisme ekonomi, pendidikan juga harus mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan dan mengentaskan mereka menuju keadilan dan kesejahteraan.
*) Resensi ini Dimuat di KORAN PAK OLES, Edisi 15-30 Maret 2008
TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta Artikelnya tersebar di Media Lokal dan Nasional antara lain; JAWA POS/INDOPOS, KOMPAS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), SINDO Edisi SORE, PONTIANAK POST, BANJARMASIN POST, BATAM POS, SURABAYA PAGI, KORAN PAK OLES (KPO), RADAR SURABAYA, RADAR MADURA, http://www.cybersastra.net/, http://www.pintunet.com/, http://www.sukainternet.com/, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar