Salju, Jilbab dan Gelombang Kebangkitan Turki
Judul : Snow: Dibalik Keheningan Salju
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, April 2008
Tebal : 731 Halaman
Menurut Ajib Rosidi para pengarang yang selalu menggunakan latar budaya besar dan secara konsisten menghembuskan aroma kemanusiaan pada gilirannya akan mendapatkan Nobel Sastra. Kita saksikan misalnya dengan latar budaya Jepang (Kawabata Yasunari, 1968; Oe Kenzaburo, 1994), dengan latar budaya Arab Islam (Najib Mahfudz, 1988), dengan latar budaya Hitam Afrika (Wole Soyinka, 1986), latar budaya Cina (Gao Xingjian). Barangkali berdasarkan pandangan ini, tidak berlebihan jika akhirnya panitia Nobel sastra memilih Ferit Orhan Pamuk—seorang sastrawan Turki yang masyhur dengan novelnya Benim Adim Kirmizi (1998), yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Erdag M. Goknar sebagai My Name is Red pada 2001—sebagai peraih nobel sastra 2006.
Novel-novel yang lahir dari tangan dingin Pamuk memang unik. Selain kental dengan budaya Turki juga bercirikan kegamangan atau hilangnya identitas yang sebagian ditimbulkan oleh konflik antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya-karyanya kerap menggelisahkan, dengan plot yang rumit dan memikat, serta penokohan yang kuat. Seperti dalam Novel terakhir Pamuk berjudul Snow (versi aslinya berjudul Kar) ini.
Seperti halnya dalam My Name is Red, dalam Snow Pamuk mencoba mendialogkan peradaban Barat dan Timur dengan segala kompleksitas persoalannya, yang acap menjadi pemicu konflik global hingga kini. dalam Snow Pamuk mampu mengolah persoalan Turki dengan karakter kuat melalui jamuan thriller, cinta yang hampa, harapan yang semu, dan kegamangan posisi pemerintah dalam berkiblat; apakah mengembalikan kejayaan Ottoman Empire yang pernah tercatat dalam sejarah, atau bertekuk lutut dalam derap modernisasi ala Eropa. Kesemuanya itu dikemas dengan spirit peradaban universal dan humanisme yang kuat.
Kisah dalam Snow berlangsung di Kars, sebuah kota kecil yang selalu tampak seperti kapas dengan cuaca dingin dan badai salju di Anatolia. Melalui tokoh Kerim Alakusoglu (Pamuk menggunakan inisial; Ka), seorang penyair dan wartawan, yang pulang ke Istambul setelah terbuang ke Jerman selama 12 tahun, Pamuk mulai memilin ceritanya. Ka datang ke Kars selain meliput pemilihan kepala daerah yang mencekam dan menakutkan warga karena intimidasi dan kekerasan terjadi; juga untuk menyelidiki sejumlah kasus bunuh diri di kalangan gadis-gadis muda kota itu. Salah satunya Teslime, siswi madrasah aliah yang bunuh diri karena kecewa dengan peraturan sekolah yang melarang siswi-siswinya mengenakan jilbab. Bila larangan itu diabaikan, Teslime dan kawan-kawan akan diusir dari ruang kelas. Orangtua Teslime sudah berkali-kali menasehati agar ia mematuhi larangan itu, mencopot jilbabnya, hingga ia tetap bisa bersekolah. Tapi, Teslime bersikukuh mempertahankan jilbabnya. Pada suatu malam, ia berwudlu, dan shalat di kamarnya. Selesai shalat, ia mengikatkan jilbabnya ke cantolan lampu, dan gantung diri.
Perihal larangan berjilbab itu sebenarnya adalah peraturan nasional Turki tentang pendidikan yang melarang siswa berjilbab di institusi pendidikan. Sebuah peraturan berbau sekulerisme, sebuah ide yang digagas sang Bapak Turki, Mustafa Kemal Pasha, atau lebih dikenal sebagai Kemal Attaturk. Dan melalui novel ini Pamuk seperti hendak menegaskan bahwa politik kerap mengesampingkan semangat kemanusiaan. Politik hanya berpikir dengan kacamata kuda; meraih kekuasaan. Dan novel ini hendak menunjukkan pada dunia bahwa ambisi-ambisi kekuasaan hanya akan melahirkan anomali sosial yang timpang bahkan mengerikan.
Ceritapun berlanjut. Melalui penyelidikan kasus bunuh diri yang meruyak di Kars, Pamuk dengan lihai membawa Ka dalam sebuah kelindan konflik yang rumit. Perbenturan antara militer pro pemerintahan sekuler, kelompok Islam garis keras dan nasionalis Kurdi yang sedang mencuat sebelum pemilihan walikota Kars. Para penghamba Ataturk menunggangi kasus bunuh diri gadis-gadis muda Kars untuk menghantam kelompok Islam yang menurut mereka tidak mampu menyelamatkan para pengikutnya dari tindakan konyol yang sudah pasti berujung di kerak Neraka. Ka makin sulit melepaskan diri dari lingkaran perseteruan itu sejak ia (secara kebetulan) menyaksikan pembunuhan seorang direktur Institut Pendidikan. Desas-desus pun bergulir, lelaki itu ditembak, karena ia orang pertama yang mengesahkan peraturan pelarangan jilbab. Pemimpin redaksi surat kabar lokal, Border City News, Serday Bey, diintimidasi oleh kelompok tertentu agar ia membangun opini publik bahwa pelaku pembunuhan itu tidak lain adalah kaki tangan Lazuardi.
Dengan cukup anggun Pamuk memilin ceritanya dan memasukkan pertentangan timur dan barat. Para perempuan yang memilih mempertahankan jilbabnya ’terpaksa’ bunuh diri untuk menjaga kehormatan mereka. Sementara mereka yang melepas jilbabnya justru diintimidasi dan diteror kaum agamawan konservatif.
Membaca novel Pamuk ini mengingatkan kita pada negeri sendiri. Pada zaman orde baru kita pernah disuguhkan kebijakan kontroversial yang melarang anak-anak sekolah mengenakan jilbab. Sama dengan di Turki pada masa orde baru anak-anak perempuan yang memilih mempertahankan jilbabnya akan dikucilkan dari sekolah bahkan dikeluarkan. Para perempuan-perempuan belia yang mempertahankan jilbabnya itu akan dituduh sebagai oknum yang telah dipengaruhi anasir-anasir Revolusi Irannya Ayatullah Khomeini. Maklum saja, Orde baru memang sangat alergi dengan ’revolusi.’ Meski Soeharto-pun akhirnya tumbang oleh ketakutannya sendiri; gerakan massa (baca: revolusi).
Zaman memang telah berubah. Tapi pakaian bisa saja dipolitikkan. Buktinya, hari-hari ini kita menyaksikan kebijakan-kebijakan sekolah di sebagian daerah (dengan semangat otonomi-nya) ’mewajibkan’ siswa-siswa perempuan untuk mengenakan jilbab selama bersekolah atau beraktivitas di lingkungan sekolah. Kita seakan sedang menyaksikan upaya penyeragaman atas dalih ’agama.’ Barangkali awalnya hanya pakaian yang diseragamkan, tapi lama-lama otak dan hati anak-anakpun dipaksa seragam untuk kepentingan negara. Dan korbannya paling banyak memang perempuan. Karena itu Pamuk dalam Snow menegaskan dengan satir; laki-laki tidak takut pada kecerdasan perempuan. Laki-laki hanya takut pada kebebasan perempuan.
Bagian akhir novel ini ditutup dengan adegan teater berjudul Tragedi di Kars yang terinspirasi dari The Spanish Tragedy karya Thomas Kyd. Dalam babak akhir teater ini diceritakan tentang Kadife yang melepaskan jilbabnya diatas panggung. Larangan dan argumen-argumen Sunay yang bereran sebagai politikus Islam garis keras mengenai betapa bahayanya melepaskan jilbab ditepisnya. Kadife benar-benar melepaskan jilbabnya. Tak hanya itu. Ia juga menembak Sunay dengan pistol kirikkele.
Tapi sebagaimana umumnya cerita realis, novel ini tidak menyuguhkan tokoh utama sebagai pemenang. Justru Pamuk menyeretnya dalam lipatan konflik yang tak berkesudahan. Dan dikemas dengan jalinan politik, sosial, budaya, thriller yang apik. Pantas saja Novel terakhir Pamuk ini (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Snow, 2004), meraih Prix Midicis untuk Novel terjemahan terbaik yang terbit di Perancis pada 2005. Sungguh novel yang layak dibaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar