WAKTU
KOLEKSI BUKU
- Motivasi (1)
- Novel (3)
- Otobiografi (3)
- Pendidikan (1)
- Sosial (10)
- ZIARAH BUKU (27)
Senin, 27 Desember 2010
Buku Selangkangan dan Keberanian Zaman
Buku Selangkangan dan keberanian Zaman
Oleh: Edy Firmansyah
Menulis memang butuh keberanian. Menerbitkan tulisan dalam bentuk buku dengan dana mandiri atau self publishing juga butuh keberanian. Tak banyak orang yang berani melakukan itu. Dan Vira Cla adalah sedikit orang yang berani menulis dan menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku dengan self publishing.
Vira Cla, calon dokter gigi UI ini menerbitkan buku pertamanya berjudul Lajang Jalang. Tak tanggung-tanggung, buku kumpulan cerpennya yang berisi 14 cerpen ini semua berisi soal seks atau tepatnya prilaku seks bebas. Itulah mengapa di sampul belakang bukunya, cewek berjilbab kelahiran Padang ini memberikan disclaimer: Hanya untuk Pembaca Dewasa.
Bahkan di cerpen pertamanya berjudul “Cer-penis di negeri sastra” vira menegaskan lagi keseriusannya menggarap soal seks. ”cerita pendek saya (dalam buku lajang jalang, red) tak jauh dari masalah seonggok daging di belahan paha” begitu kira-kira komentar tokoh saya dalam cerpen itu. Dan alasannya sederhana saja: inilah keragaman sastra itu.
Memang sejak gerakan mahasiswa 98 berhasil menumbangkan orde baru kran kebebasan menuangkan pikiran dan menyatakan pendapat muncrat tak terbendung. Dan karya-karya berbau kelamin tibatiba banjir di pasaran buku, mengisi ruang-ruang kesusastraan Indonesia. Taruhlah misalnya, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu (sekedar menyebut contoh) yang mengorbitkan karya-karya kelaminnya usai orde baru tumbang itu. Promosi besar-besaran, dukungan dari sastrawan senior atas terbitnya buku-buku sastra semacam novel dan cerpen yang kadang kalah terlalu berlebihan, membuat penulis sastra kelamin menjadi jujukan banyak anak muda untuk kemudian mencoba-coba menggarap sastra dengan tema serupa.
Seakan-akan sastra kelamin pasca lengsernya kepemimpinan Soeharto itu adalah sastra pendobrakan. Sastra perlawanan. Efek dari dikebirinya kebebasan berpendapat dan berpikir di era orde baru. Dan barangkali Vira Cla adalah salah satu diantara anak-anak muda itu. Lebih tepatnya menggarap soal seks kerap dianggap sebuah keberanian berpikir. Keberanian menyatakan pendapat. Bukan semata-mata bervulgar ria semata.
hanya saja masalahnya benarkah sebuah keberanian? Bukankah ketika orde baru tumbang kebebasan berpendapat dan berpikir (juga berkarya) itu kemudian menggelinding bebas tanpa tedeng aling-aling ke tangan mereka yang bergelut dalam dunia tulis-menulis? Artinya ketika kebebasan itu sudah diraih dan orang bisa menulis apa saja termasuk soal seks, tema seks bukan lagi sebuah keberanian.
Berbeda misalnya ketika orde baru masih Berjaya dengan berbagai tindakan represifnya di segala lini termasuk dalam berkarya. Menulis soal seks di masa kejayaan orde baru itu jelas merupakan sebuah keberanian. Karena jika ketahuan penulisnya bisa mengalami nasib yang naas. Meski demikian jangan dikira di masa itu tak ada penulis yang menggarap tema selangkangan dalam karya-karyanya. Sebutlah misalnya, Monica, Enni Arrow atau Fredy S (sekedar menyebut contoh). Puluhan bahkan ratusan karya mereka ada di pasaran. Saya sendiri di masa-masa sekolah adalah penggemar karya-karya penulis yang saya sebut diatas. Tentu saja jangan cari karya mereka di toko-toko buku besar (sama juga dengan self publishing yang barangkali sulit mencari bukunya di toko buku). Tapi cobalah cari di toko buku kaki lima atau distributor Koran dan majalah, maka anda akan menemukannya. Dibandingkan Monica dan Fredy S, Enni Arrow justru fenomenal dan sangat-sangat berani dalam mengumbar selangkangan dalam karyanya.
Tentu saja jangan mencari pesan moral dalam karya Enni Arrow. Karena garapan novel-novel Anni Arrow itu pure seks. Desahan, gelinjang, erangan, nikmatnya gesekan kelamin antara sesama jenis kelamin, dua jenis kelamin yang berbeda ditulis tanpa tedeng aling-aling. Dan butuh keberanian menuliskan itu semua ditengah sensor-sensor dan represifitas orde baru. Dan karena keberaniannya itulah karya Enni Arrow terus diburu anak-anak muda kala itu. Ketika SMA saya sendiri adalah penggemar Enni Arrow. Dan barangkali dari banyak buku yang pernah saya baca hingga sekarang, hanya karya Enni Arrow yang pernah saya baca dalam kamar mandi. Lepas dari semua itu karya-karya fredy S, Enni Arrow, Monica, Abdullah Harahap menurut saya adalah karya sastra yang jauh lebih berani karena menggarap tema seks ketika kekuasaan orde baru itu masih anggkuh berdiri dengan segala sensor dan represifnya itu.
Nah, membaca Lajang jalang mengingatkan saya pada bacaan-bacaan saya di kala SMA itu. Namun sebagai buku yang digadang-gadang penulisnya sendiri sebagai buku untuk kalangan dewasa buku ini justru kurang ‘berani.’ Vira kurang berani mengekslorasi adegan-adegan seksual (baca: adegan ranjang) sebagaimana penulis-penulis selangkangan pendahulunya. Misalnya, dalam cerpen berjudul “ketika otak di selangkangan” adengan percintaan antara tokoh aku dan pasangannya diandaikan sebagai percintaan romeo Juliet. Tanpa dieksplorasi secara deskriptif sebagaimana penulis selangkangan umumnya. Misalnya:
“Bayangkan ketika Juliet melepas baju satu persatu. Romeo menikmati setiap tindakan, lalu mulai bergerak cepat memagut Juliet, mendekap erat dan mulailah kalian menutup mata. Biarlah adegan selanjutnya terjadi tanpa terlihat oleh mata-mata yang penasaran” (hal. 16)
Dalam cerpen-cerpen lainnya Vira sengaja tidak mendeskripsikan adegan-adegan seks yang dilakukan tokoh-tokohnya. Ditengah karya-karya seks yang jauh lebih berani dalam mengumbar syahwat dan menyeret pembacanya dalam ketegangan seksual, Vira justru bermain-main dengan eufemisme seksual. Tak hanya itu, Vira juga kurang matang menggarap plot, suspense dan klimaks dalam cerpen-cerpennya. Nyaris tidak ada kejutan-kejutan yang berarti terutama dalam menciptakan klimaks dan ending. “Labia”, “Puting”, “hari ini aku di persimpangan jalan”, “hanya sepuntung”, “que sera-sera” adalah beberapa contoh cerpen yang saya maksud itu. Dalam Labia misalnya, tokoh aku terobsesi dengan bibir perempuannya. Ingin sekali ia mencium bibir perempuannya itu. Bahkan ketika perempuannya berbicara di telepon dengan temannya yang ia perhatikan hanya bibirnya. Tapi ketika tokoh aku hendak menciumnya di dalam mobil pribadinya, perempuannya menolak. Si perempuannya mengingatkan tindakan mencium bibirnya (termasuk mencium labia genitalis nantinya) baru bisa dilakukan setelah menikah. Dan tokoh aku sadar. Tak melanjutkan lagi niatnya. Adegan selesai. Barangkali mungkin pesan moralnya begini: perempuan itu harus berani berkata tidak untuk menaklukkan birahi laki-laki. Begitu juga sebaliknya. Tapi saya sebagai pembaca tak merasakan kejutan apa-apa.
Tapi menariknya, meski Vira memproklamirkan bukunya sebagai tulisan melulu soal daging di belahan paha, di sampul belakang bukunya ia seakan memberikan pesan bagi pembacanya: baca dan resapi, tapi jangan coba-coba walau sekali. Mungkin disclaimer di sampul belakang itu seakan menegaskan kalau segementasi buku ini hanya untuk kalangan remaja atau ia penggemar bukubuku pop seksual. Ini jelas berbeda dengan penulis selangkangan macam Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu yang justru dibabtis dengan puja-puji setinggi langit sebagai pioneer pendobrak tabu dan pelopor feminisme Indonesia (?).
Lepas dari semua itu, ada baiknya saya mengutip omongan Charles Darwin, penulis Species of Origin yang controversial itu. Bahwa sebuah penelitian, sebuah karya, tak ada berarti tanpa ada pendukung dan penentangnya yang setia. Begitu juga dengan buku. Dan Vira Cla memberanikan diri menerbitkan buku (yang tentu saja harus berani memiliki penggemar dan penentangnya juga) Lajang Jalang ini. Menurut saya buku Vira Cla ini barangkali adalah buku ‘pengantar’ untuk masuk ke buku bertema seksual. Pembaca yang belum pernah membaca Fredy S, Enni Arrow, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan penulis bertema selangkangan lainnya ada baiknya membaca Lajang Jalang ini. Sebagaimana buku indie umumnya, barangkali pembaca tak akan mendapatkannya di toko buku besar. Artinya jika anda berminat, anda harus memesannya langsung pada penulisnya atau memesan ke tempat-tempat penjualan buku yang telah bekerjasama dengan penulis. Nah, anda berminat?
Rabu, 22 Desember 2010
Review: SELAPUT DARA LASTRI
Oleh: Vira Cla
Calon Dokter Gigi, Penulis buku Lajang Jalang
Berawal dari usulan barter buku, akhirnya saya menerima kiriman satu buah buku antologi ‘Selaput Dara Lastri’. Ada 15 cerpen yang semuanya ditulis oleh Edy Firmansyah yang mengusulkan untuk barter buku yang diterbitkan indie ini. Sama seperti saya yang juga menerbitkan indie buku kumpulan cerpen saya ‘Lajang Jalang’. Sampai saya menuliskan ini, buku saya pasti sedang dalam perjalananan ke Madura, karena di sanalah Mas Edy berdomisili.
Dari judul buku, saya bisa melihat kesamaannya dengan buku saya, sedikit berbau seks. Sempat kepikiran kalau tulisannya Mas Edy beraliran ’sastra selangkangan’ seperti tulisan saya. Lalu, saya buka lembar pertama, judul buku ternyata diambil dari judul cerpen pertama dalam antologi ini. Cerpen ‘Selaput Dara Lastri’ yang pernah dimuat di surat kabar lokal Surabaya bercerita tentang keperawanan. Sampai jaman sekarang, masih saja orang-orang memaknai sempit arti keperawanan. Di dalam cerpen ini, bisa ditemukan dialog-dialog yang mencerahkan, tapi hati-hati, bisa jadi juga menjerumuskan kaum perempuan maupun lelaki.
“Sudahlah, tak perlu risau. Apalah arti selaput dara di zaman modern ini. Selaput dara hanyalah konstruksi sosial masyarakat feodal/kapitalisme yang menindas. Ia hanyalah simbol kebengisan laki-laki dalam memarginalkan posisi perempuan secara politis. Robeknya selaput dara di malam pertama yang disakralkan itu hanyalah pelanggeng akan kekuasaan lelaki yang represif dan antikeadilan. Buktinya, mengapa tidak ada tes keperjakaan jika memang keadilan gender mau ditegakkan di negeri ini? Mengapa hanya ada tes keperawanan? Lalu di mana posisi keberadilan agar perempuan bisa mendepak laki-laki jika ketahuan tidak perjaka sebagaimana halnya laki-laki menyampahkan perempuan ketika terbukti tidak perawan. “
Lastri, tokoh utama yang berkonflik batin tentang selaput daranya, tetap dengan pendiriannya bahwa darah perawan penting di malam pertama. Namun, pada akhirnya, tulisan ini berakhir dengan ironi. Dan banyak lagi cerpen dengan akhir yang tak terduga, membuat kita sebagai pembaca menghela napas panjang. Kegetiran dari setiap cerpen disampaikan secara gamblang.
Setelah beberapa cerpen saya baca tuntas, saya bisa menilai bahwa antologi cerpen ini bukan seperti cerpen-cerpen saya di Lajang Jalang. Mungkin judulnya saja yang sedikit ‘berani’. Isinya pun juga lebih ‘berani’, bukan dalam hal ‘mengumbar syahwat’, tapi tentang kenyataan. Membaca cerpen ini seperti membaca gambaran Indonesia beberapa tahun terakhir. Ceritanya realis. Seperti yang tertulis dalam salah satu cerpen berjudul ‘Cerpen Nam’,
“Betapa tidak, Nam adalah penulis cerpen realis. Cerpen-cerpen Nam adalah cerita pendek yang berkisah tentang kemiskinan, penindasan dan diskriminasi.”
Mungkin karena penulis juga seorang jurnalis yang tak jauh dari berita-berita miris tentang kehidupan sehari-hari.Mulai dari orang miskin yang sakit, aktivis yang digebuk polisi, kebrutalan satpol PP, pembantu/TKW yang disiksa, sampai perselingkuhan dan ‘Sumpah Pocong’ pun diceritakan dalam antologi Selaput Dara Lastri. Saya sendiri seperti baca koran, tapi tenang saja, penulisnya berhasil meramu kata-kata menjadikannya cerita fiksi yang bisa dinikmati dengan akhir cerita yang menggugah, bisa bikin sedih, geram, dan senyum kulum. Hehehe…
Selain itu, ada juga cerita yang ‘mendongeng’, seperti dalam cerpen ‘Siang Kelabu’ dan ‘Ujian Sekolah’. Dua cerpen yang berbeda cerita, tapi ternyata salah satu tokoh ada di kedua cerita. Mau cerita yang lebih dongeng lagi juga ada di cerpen terakhir dalam antologi ini, ‘Dongeng Sebelum Tidur’. Sekumpulan dongeng yang populer diceritakan sangat singkat dengan dibumbui ‘kegetiran’ ala Edy Firmansyah, namun juga menghibur.
Demikian saja saya tuliskan review buku antologi berjumlah 100 halaman ini. Bagi yang berminat baca buku ini bisa beli sendiri bukunya. Jangan pinjam sama saya! Hahaha…
(Sumber: http://hiburan.kompasiana.com/buku/2010/12/21/review-selaput-dara-lastri/)Berminat dengan buku ini? Murah Saja. Hanya Rp. 25.000,-(Sudah termasuk ongkos kirim). CP: 081937381133 atau email: stapers2002@yahoo.com
Selasa, 09 November 2010
SELAPUT DARA LASTRI
Telah Terbit Buku Antologi Cerpen
Judul: SELAPUT DARA LASTRI
Penulis: Edy Firmansyah
Jenis Buku: fiksi/kumpulan cerpen
Tebal : iv + 100 Halaman
Harga: Rp. 25.000,- (sudah termasuk ongkos kirim)
Sudah tak bisa dipungkiri bahwa kita hidup dalam masyarakat bipolar. masyarakat yang terkotak-kotak secara struktur sosial. ya kehidupan kaya dan miskin dengan segala pola tingkah masyarakatnya. Nah buku ini mencoba menggambarkan kehidupan bipolar masyarakat itu. dalam Selaput Dara Lastri, misalnya, penulisnya mencoba mengkritik kehidupan orang kaya yang tidak percaya diri akan kecantikannya dan kemunafikan orang-orang beragama.
Dalam kentut-kentut cinta dan Siang kelabu yang juga terangkum dalam kumpulan cerpen ini begitu tegas bagaimana kemunafikan kaum agamawan diungkap.
sementara itu dalam cerpen "Menunggu Ijah Pulang", "Balada Suratmi" dan "Sumpah Pocong" Penulisnya mencoba menceritakan penderitaan hidup masyarakat miskin ditengah gelimangan kekayaan orangorang kaya yang selalu menari-nari diatas penderitaan sesamanya. (ogi)