Bongkar Hegemoni Media
Judul : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Ziauddin Sardar
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 178 Halaman
Judul : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Ziauddin Sardar
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 178 Halaman
Peresensi : Edy Firmansyah
Tak seorangpun bisa lepas dari jeratan kuasa media. Berdasarkan riset, rata-rata manusia di era mondial ini menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan berselancat di internet. Artinya, manusia menghabiskan sepertiga dari hidupnya dengan membenamkan diri dalam media. Sehingga kemampuan berbicara, berpikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitasnya sendiri dibentuk oleh media.
Tak seorangpun bisa lepas dari jeratan kuasa media. Berdasarkan riset, rata-rata manusia di era mondial ini menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan berselancat di internet. Artinya, manusia menghabiskan sepertiga dari hidupnya dengan membenamkan diri dalam media. Sehingga kemampuan berbicara, berpikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitasnya sendiri dibentuk oleh media.
Padahal tak semua tayangan dan isi media memberikan pengetahuan dan wawasan baru sebagai upaya manusia mengembangkan diri. Pasalnya akumulasi media di tangan beberapa korporasi justru lebih mempertimbangkan bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan antar media. Makanya tak heran demi mengejar popularitas dan menjadi media nomer satu yang paling diminati pemirsanya mereka malah menayangkan acara yang nyaris penuh dengan fatamorgana, hiperealitas dan bertendensi mengeksploitasi pemirsa.
Bagi penikmat media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Karenanya isi tayangan dan pemberitaan media tak kalah ampuhnya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah yang menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup.
Karena itu, menurut Ziauddin Sardar, penulis buku Membongkar Kuasa Media ini, satu-satunya cara agar kita tidak dimangsa media adalah kita harus memandang aktivitas kia sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Artinya, memahami konsep bahwa tidak semua yang bacaan di suat kabar atau tayangan televisi dapat dipercaya begitu saja. Karena sebagian yang kita lihat di televisi merupakan masalah politik, sebagian lagi sebagai sastra dan sebagian masalah sosiologi.
Bahkan Sardar pada awal pembuka buku ini memberikan amaran bahwa studi media penting diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar. Kalau perlu dijadikan sebagai kurikulum reguler di sekolah. Kita harus memastikan bahwa anak-anak selayaknya diberikan alat untuk mengembangkan ketrampilan memandang sesuatu dengan kritis sejak usia dini.
Mengapa? Karena penikmat media (terutama teevisi) yang paling rapuh tentu saja anak-anak. Betapa tidak, berdasarkan data anak usia SD-SM (7-15 tahun), mengisi waktu 30-35 jam seminggu untuk menonton televisi. Padahal isi tontonan televisi sebagian besar berisi sinetron. Alih-alih isi dan cerita sinetron mendidik, menurut yayasan pengembangan Media Anak, sepanjang 2006-2007 adegan kekerasan dan seks sangat dominan dalam sinetron. Celakanya, sulit sekali menghapus sinetron dari daftar tayangan televisi. Pasalnya, tayangan ini memang kerap memperoleh rating tinggi, yang menarik minat pengiklan, yang menyedot lebih 60 persen belanja iklan nasional.
TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar