Mengurai Selubung Kuasa dalam Kelamin
Oleh: Nurfa Rosanti
Judul : Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja seks dan Seks Bebas di Indonesia
Penulis : Hatib Abdul Kadir
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiii + 310 Halaman
Banyak kalangan yang menuding pelacuran, sex bebas dan prilaku sex menyimpang lainnya sebagai penyebab bobroknya moralitas bangsa. Akibat dari semua itu adalah terjadinya krisis multi dimensi berkepanjangan di negeri ini. Makanya jangan heran jika penertiban praktek-praktek prostitusi menjadi salah satu agenda penting pemerintah baik pusat maupun daerah akhir-akhir ini.
Oleh: Nurfa Rosanti
Judul : Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja seks dan Seks Bebas di Indonesia
Penulis : Hatib Abdul Kadir
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiii + 310 Halaman
Banyak kalangan yang menuding pelacuran, sex bebas dan prilaku sex menyimpang lainnya sebagai penyebab bobroknya moralitas bangsa. Akibat dari semua itu adalah terjadinya krisis multi dimensi berkepanjangan di negeri ini. Makanya jangan heran jika penertiban praktek-praktek prostitusi menjadi salah satu agenda penting pemerintah baik pusat maupun daerah akhir-akhir ini.
Tapi yang jadi pertanyaan, apakah dunia esek-esek akan berhenti total dengan tindakan represif oleh negara? Apakah setelah negeri ini bebas dari prilaku sex yang menyimpang, keadaan akan berubah damai dan sejahtera? Ataukah sebaliknya, gelombang sex justru semakin besar ketika bergerak di bawah tanah?
Tentu saja tak mudah untuk menjawabnya. Menurut Benedict Anderson dalam pengantar buku ini, seksualitas adalah hal yang sangat berliku-liku, ruwet dan kompleks. Hal ini dikarenakan seksualitas tak lagi netral. Keberadaannya, selalu berhadapan dengan tiga kekuatan yang maha besar, yakni; negara, agama dan kapitalisme (hal. xiv). Nah, buku yang ditulis Hatib Abdul Kadir ini mencoba mengurai kompleksitas seksualitas tersebut. Setidaknya ada tiga prilaku sex yang jadi bahasan utamanya, yakni telaah homoseks, pekerja seks, dan seks bebas.
Dipilihnya topik tersebut tentu saja tidak tanpa alasan. Harus diakui seksualitas menjadi perdebatan hangat belakangan ini di Indonesia. Betapa tidak, pasca reformasi buku-buku murahan dan sensasional tentang sex laku berat di pasaran, koran kuning bertebaran bak jamur di musim hujan, penelitian tentang sex juga tak kalah beraninya. Sebut saja, misalnya, Jakarta Under Cover karya Memoar Emka dan Sex in the Kost karya Iip Wijayanto.
Makanya tak heran jika studi tubuh dan seksualitas menyeruak secara cerdik ditengah-tengah maraknya berita politik, krisis ekonomi, hukum hingga kriminal (hal. 47). Namun dari berbagai kajian seksualitas, topik homoseks, pekerja seks, dan seks bebas kerap menjadi perdebatan panjang dalam media massa saat ini. Sehingga informasi yang tersedia cukup banyak dan mempermudah penggalian data secara mendalam.
Melalui buku ini, topeng-topeng kapitalisme yang menempel di area ’selangkangan’ dilepas dan sikap paradoksal negara terhadap prilaku seks menyimpang dibongkar. Dengan menggunakan analisa Michel Foucault mengenai seksualitas dan kuasa, terungkap, Misalnya, penertiban PSK jalanan dan pemaksaan melokalisasi PSK dengan alasan susila dan moralitas oleh pemerintah ternyata paradoks dengan keadaan di lapangan. Sebab tak jarang pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberadaan lokalisasi dengan berbagai alasan; ’demi meningkatkan pendapatan daerah’, ”membuka lapangan pekerjaan”, hingga sebagai ”stok” untuk ”menghibur” relasi bisnis atau pejabat yang doyan ”daun muda” (hal. 161).
Sementara itu, ditengah hiruk pikuk perdebatan mengenai seksualitas kapitalisme justru memancing di air keruh. Alih-alih mendukung kebijakan negara yang mendiskreditkan para pelaku seks menyimpang, kapitalisme justru membangun pasar. Ditengah tekanan negara terhadap kaum minoritas seksual, kapitalisme menciptakan produk-produk pronografi yang memiliki nilai jual seperti; majalah porno, agen hubungan homoseksual, biro jodoh termasuk juga seks toi (alat pemuas seks).
Sampai disini jelas bahwa upaya-upaya penertiban terhadap para PSK, razia majalah porno dan razia hotel-hotel mesum merupakan solusi yang boleh dikatakan buang-buang energi dan dana. Buktinya, ribuan kali dirazia, fenomena serupa selalu saja ada. Seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu. Satu-satunya solusi yang ditawarkan dalam buku ini adalah deregulasi negara yang melegalisasikan kesamaan hak terhadap homoseksualitas, pekerja seks dan pelaku seks bebas.
Solusi tersebut sekaligus menentang kalangan yang menuding maraknya perilaku seks yang menyimpang sebagai penyebab krisis multidimensi yang tak kunjung usai di negeri ini. Menurut Hatib Abdul Kadir tudingan tersebut tidak mendasar dan ahistoris. Jika benar krisis negara lebih disebabkan krisis moral keagamaan, mengapa tidak mendirikan semacam pesantren kilat secara massif dan sporadis saja? Dan setiap warga negara wajib masuk didalamnya. Namun, apakah hal tersebut menjamin, krisis akan selesai? Dan mengapa negara yang tak menganut perspektif moralitas agama layaknya Indonesia lebih mengalami keajuan peradaban, ekonomi dan religiusitas yang lebih bagus dan manusiawi dibanding Indonesia? (hal. 240)
Karenanya hadirnya buku ini berada di waktu yang tepat. Dalam nuansa demokratis saat ini penting kiranya memberikan suara lain mengenai seksualitas. Sebab memandang seksualitas dengan hitam putih justru tidak menyelesaikan masalah, melainkan justru menyimpan bom waktu berupa anomali sosial yang siap meledak kapan saja. Selamat membaca.
TENTANG PENULIS
Nurfa Rosanti adalah Santri di KIP (Komunitas Islam Pembebasan) Madura. Pengajar di SMP Darussyahid Sampang-Madura.
1 komentar:
iku melansirkan rehal buku ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=2184&lang=id
Posting Komentar