Perpustakaan dan Perubahan Radikal John Wood
Oleh: Edy Firmansyah
Judul : LEAVING MICROSOFT TO CHANGE THE WORLD: Kisah
Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia
Penulis : John Wood
Penerjemah : Widi Nugroho
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : x + 368 Halaman
Hal yang paling ditakuti manusia sebenarnya adalah perubahan radikal dalam hidup, demikian kata Soren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark. Mungkin itulah sebabnya manusia lebih suka mempertahankan ‘mati-matian’ keadaan status quo. Sebab dengan status quo mereka yang telah duduk dalam gelimang kemapanan, kuasa, kejayaan dan kekayaan akan tetap dapat menikmati semua itu bahkan sampai tujuh turunan.
Tapi berbeda dengan John Wood. Pernyataan Soren Kierkegaard diatas justru dianggap sebagai tantangan. Di tengah usia kerjanya yang mencapai sembilan tahun di Microsoft, ditengah karirnya sebagai direksi pemasaran perangkat lunak merangkak naik, ditengah berbagai kekayaan dan fasilitas dia dapat dengan mudah sebagai eksekutif muda di perusahaan besar yang prestisius itu, John Wood memilih mundur. Meninggalkan semua fasilitas dan kemewahan yang dia dapat dari keringatnya sendiri.
Apa yang membuatnya mengambil keputusan yang oleh banyak orang dianggap ’gila’ itu? Buku memoar berjudul Leaving Microsoft To Change The World; Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia ini memberikan jawabannya. Berawal dari menghabiskan liburan panjang dengan berjalan kaki selama 21 hari di Pegunungan Himalaya. John Wood bertemu dengan Pasupathi, laki-laki paruh baya asal Nepal yang berkerja sebagai pegawai negeri di dinas pendidikan Propinsi Lamjung, Nepal.
Dari Pasupathi itulah John Wood mengetahui bahwa angka buta huruf di Nepal mencapai 70 persen, merupakan angka yang tertinggi di dunia. Tapi kondisi tersebut bukan karena orang Nepal terkenal malas. Melainkan karena masyarakat dan pemerintah terlalu miskin untuk mengupayakan cukup sekolah, guru, dan buku-buku bagi penduduk yang jumlahnya bertambah dengan cepat (hal. 6).
Rasa kemanusiaan John Wood semakin menggelora ketika menyaksikan sendiri salah satu kondisi sekolah di Desa Bahundanda, ketika turut serta dalam kunjungan rutin Pasupathi. Dalam kunjungan itu Kepala sekolah menunjukkan perpustakaan sekolah. Memang sebuah tulisan di luar pintu dengan bangga terbaca PERPUSTAKAAN SEKOLAH, tetapi di dalam, ruangan itu kosong dan satu-satunya yang menutupi dinding adalah peta dunia yang usang. Tak satupun buku terlihat.
Memang ada beberapa buku yang sengaja disimpan agar anak-anak tidak merusak barang berharga itu. Ironisnya, buku yang disimpan tersebut adalah buku-buku vulgar yang dibuang para pelancong beransel yang tentunya tak layak dibaca (baik secara fisik maupun intelektual) oleh murid-murid belia itu. Misalnya saja, cerita roman Danielle Steel dengan sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berpelukan erat penuh gairah dan setelah telanjang di sampul mukanya, sebuah novel Umberto Eco berjudul Lonely Planet Guide to Mongolia yang ditulis dalam bahasa Italia.(hal. 13)
Berdasarkan fakta itulah kemudian John Wood melakukan perubahan radikal itu. Mendirikan sebuah proyek perpustakaan. Nama resminya Books for Nepal. Namun nama ini akhirnya diubah menjadi Room To Read. Kehidupannya pun berubah total, dari seorang eksekutif muda sebuah perusahaan prestisius menjadi laki-laki pengangguran yang mendirikan perpustakaan di Himalaya.
Dipilih proyek perpustakaan itu tentu saja tidak tanpa alasan. Sejak kecil John Wood adalah pembaca yang rakus. Sebagaimana diakui sendiri; “Ingatan saya yang paling awal dan paling terang adalah membaca. Menjelang tidur, saya selalu mendesak agar dibacakan berulang-ulang karya-karya Dr. Seuss: Go, Dog! Go!; Green Eggs and Ham; There’s a Wocket in my Pocket! Selama dalam perjalanan panjang dengan keluarga di dalam mobil. Bahkan kegilaan saya terhadap bacaan tak bisa diimbangi dengan anggaran orang tua yang sangat terbatas. kegemaran membaca, dan mengeksplorasi dunia baru begitu mendominasi kehidupan saya, karenanya saya tidak bisa membayangkan masa kecil saya tanpa buku,” (hal. 20-21).
Meski jalan yang dipilihnya bukan jalan yang mulus, Wood mampu mewujudkan impiannya. Proyeknya berkembang pesat. pelajaran penting yang didapat selama brada di Microsoft terus diterapkan, yakni berpikir besar. Organisasi amalnya tidak hanya membangun satu dua sekolah dengan perpustakaan lengkap. Tetapi—meniru Andrew Carnegie—John Wood mampu mendirikan sekitar 3600 perpustakaan di dunia ketiga. bermula dari Nepal, organisasi itu berkembang ke Negara Kamboja, Vietnam, hingga India.
Menariknya, dalam buku ini kita tak hanya disuguhi tentang kisah keberanian untuk berubah demi panggilan kemanusiaan, tetapi juga bagaimana cara mengelola bisnis mulai dari nol. Sungguh merupakan buku yang cukup memikat. Terlebih lagi, buku ini ditulis oleh seorang penggila buku. Sehingga membacanya seakan-akan kita sedang menyaksikan sendiri perjalanan hidup John Wood.
Karenanya hadirnya buku ini justru sangat tepat. Negeri ini memerlukan ratusan ‘John Wood’ untuk percepatan menuju perubahan. Bukan saja di bidang bisnis mandiri, tetapi juga dunia literal. Pasalnya, dunia literasi kita justru penuh dengan paradoks. Benar memang pemerintah telah gembar-gembor bahwa negeri ini bebas buta aksara, tapi nyata kondisi perpustakaan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia sangat memperihatinkan. Parahnya lagi, harga buku bacaan kian hari kian tak terjangkau. Padahal buku adalah jendela dunia. Lewat buku-buku imajinasi anak bangsa dikembangkan untuk kemajuan negerinya. Karenanya diperlukan ribuan perpustakaan gratis yang bisa diakses semua masyarakat. Masalahnya, siapa yang akan memulai?
TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pencinta Buku. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar