WAKTU

KOLEKSI BUKU

Senin, 22 September 2008

Belajar Makna Hidup Dari Santiago

Dimuat di KPO Bali Edisi 160, 16 - 30 September 2008


Judul : The Old Man and The Sea
Penulis : Ernest Hemingway
Penerjemah : Dian Vita Ellyati
Penerbit : Selasar Publishing, Surabaya
Cetakan : I, April 2008
Tebal :xii + 132 Halaman

Peresensi : Edy Firmansyah

Karya sastra adalah disiplin yang paling lekat dengan kehidupan manusia. Sebab sastra berurusan langsung dengan kepercayaan, harapan, dan simpati manusia. Sehingga manusia dengan segala keperkasaan dan kerapuhannya mampu dilukiskan dengan baik dan memikat. Tak heran mengulang-ulang membaca karya sastra selalu mendatangkan inspirasi baru. Sebagaimana membaca Novel berjudul The Old man And The Sea ini.

Novel ini adalah karya utama (masterpiece) Ernest Hemingway, penulis kelahiran Illionis, Chicago, yang telah banyak menyita perhatian dunia. Karya ini berhasil memenangi hasih pulitzer tahun 1953 untuk kategori fiksi. Ia juga memperoleh Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters pada tahun yang sama. Yang paling bergengsi, ia memperoleh Nobel Sastra tahun 1954 untuk keahlian luar biasanya pada seni narasi dan untuk pengaruh yang telah dihasilkan atas gaya penulisan kontemporer.

Kisah The Old man And The Sea memang inspirasional. Ada kebersahajaan, kesabaran, kekuatan hati serta semangat yang tak pernah menyerah pada keadaan. Kisah nelayan tua bernama Santiago yang telah berhari-hari bertarung mendapatkan ikan Marlin benar-benar menyentuh. Santiago, seperti hendak menantang anasir Soren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark yang menyatakan bahwa hal yang paling ditakuti manusia sebenarnya adalah mengalahkan diri sendiri dan melakukan perubahan radikal dalam hidup.

Pantas jika cerita yang pertama kali muncul sebagai bagian dari majalah Life edisi I September 1952 ini langsung menuai sukses besar. Majalah tersebut melejit luar biasa. Dalam dua hari 5,3 juta eksemplar majalah itu ludes terjual.

Cerita ini dibuka dengan narasi lelaki tua bernama santiago yang telah melaut selama 84 hari tetapi tanpa berhasil menangkap seekor ikanpun. Pada 40 hari pertama sebenarnya Santiago ditemani seorang bocah bernama Manolin. Tetapi setelah 40 hari tidak mendapatkan hasil, Manolin dilarang orang tuanya untuk berlayar dengan Santiago. Sebab dalam masyarakat nelayan pantang berlabuh tanpa membawa hasil. Nelayan yang demikian akan divonis salao, yakni sebutan untuk nelayan yang dianggap sial seumur hidupnya.

Namun Manolin tidak peduli dengan tudingan masyarakat tentang Santiago. Anak laki-laki gubuk itu setiap malam selalu setia membantu Santiago menarik peralatan pancing, memberinya makan dan mendiskusikan baseball—terutama idola santiago, Joe DiMaggio.

Sedangkan Santiago juga tak terlalu ambil pusing dengan vonis salao itu. Bahkan olok-olok anak-anak muda disekitarnya sebagai orang tua yang aneh ditanggapi dingin. Ia tidak marah. Karena ia mengerti jiwa anak muda. Lagipula tak ada orang lain yang bisa meraba kemampuan manusia kecuali dirinya sendiri, begitu falsafah hidupnya.

Falsafah itulah yang kemudian membuatnya nekat menjelajahi selat untuk memancing seorang diri. Dengan satu keyakin bulat dalam dirinya; bahwa nasib sial yang dituduhkan masyarakat akan berakhir. Bahkan falsafah tersebut mirip ungkapan Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar, bahwa keberhasilan berasal dari satu persen bakat dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras.

Di tengah laut Santiago berhasil menangkap seekor ikan Marlin yang besar dan kuat. Berhari-hari ia berjuang menaklukkan ikan tersebut seorang diri. Dikerahkan semua kemampuannya, semua pengalamannya dengan penuh kesabaran. Dengan gaya naratif Ernest hemingway yang begitu kuat, pembaca seakan-akan berada disamping Santiago dan merasakan sendiri kesepian, penderitaan dan kesendirian di tengah laut.

Membaca kisah ini mengingatkan kita pada kisah pewayangan, Mahabharata. Dalam salah satu riwayat dikisahkan seorang raja muda bernama bambang Ekalaya yang marah dan sakit hati kepada Arjuna (dari Pandawa) karena Arjuna telah secara kurang ajar menggoda istri Bambang Ekalaya yang bernama Dewi Anggraini sewaktu dalam perjalanan menuju Hastina.

Bambang Ekalaya tahu Arjuna tidak pernah terkalahkan dalam menguasai ilmu panah. Untuk bisa membalas sakit hatinya, untuk bisa menandingi Arjuna, tidak ada cara lain kecuali berguru pada orang yang melatih Arjuna, yakni Pendeta Durna. Sayangnya Pendeta Durna sudah bersumpah tidak boleh menerima murid selain dari keluarga hastina dan Pandawa. Dengan kata lain, Pendeta Durna menolak menerima Bambang Ekalaya sebagai murid.

Tentu saja Bambang Ekalaya kecewa berat. Namun terdorong rasa dendam yang membara, ia kemudian masuk hutan dan membuat patung dari kayu yang menyerupai Pendeta Durna. Patung itu yang kemudian dianggap sebagai guru-nya. Ia memperlakukan patung itu sebagai guru yang sesungguhnya. Patung itu disembah, dipuja, diberi makan seperti orang memberi sesaji dan dimintai doa restu tiap kali Bambang Ekalaya belajar memanah. Hasilnya? Luar biasa.
Dalam kisah itu diriwayatkan, ilmu memanah Ekalaya tidak kalah dengan ilmu memanah Arjuna. Mereka setara. Bahkan dalam sebuah pertarungan Arjuna nyaris tewas oleh panah Ekalaya. Memang akhirnya Bambang Ekalaya menemui ajal. Tetapi bukan karena kehebatan panah Arjuna, melainkan tipu muslihat Bathara Krisna.

Bagaimana nasib Santiago? Memang Santiago tidak sesial Ekalaya. Benar memang ia tidak berhasil membawa ikan marlin itu utuh ke daratan. Karena ikan tersebut diserang hiu. Tapi kerangka ikan yang masih menyangkut dikailnya sudah cukup memberikan bukti betapa kemampuan manusia tidak bisa diprediksi hanya dengan melihat bentuk fisiknya saja. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer dalam Novelnya Bumi Manusia; "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput( baca: sempurna).


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bersastra Kita (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Minggu, 21 September 2008

Bongkar Hegemoni Media

Dimuat di KPO Bali Edisi 159, 1 - 15 September 2008


Bongkar Hegemoni Media


Judul : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Ziauddin Sardar
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 178 Halaman
Peresensi : Edy Firmansyah

Tak seorangpun bisa lepas dari jeratan kuasa media. Berdasarkan riset, rata-rata manusia di era mondial ini menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan berselancat di internet. Artinya, manusia menghabiskan sepertiga dari hidupnya dengan membenamkan diri dalam media. Sehingga kemampuan berbicara, berpikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitasnya sendiri dibentuk oleh media.

Padahal tak semua tayangan dan isi media memberikan pengetahuan dan wawasan baru sebagai upaya manusia mengembangkan diri. Pasalnya akumulasi media di tangan beberapa korporasi justru lebih mempertimbangkan bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan antar media. Makanya tak heran demi mengejar popularitas dan menjadi media nomer satu yang paling diminati pemirsanya mereka malah menayangkan acara yang nyaris penuh dengan fatamorgana, hiperealitas dan bertendensi mengeksploitasi pemirsa.

Bagi penikmat media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Karenanya isi tayangan dan pemberitaan media tak kalah ampuhnya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah yang menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup.

Karena itu, menurut Ziauddin Sardar, penulis buku Membongkar Kuasa Media ini, satu-satunya cara agar kita tidak dimangsa media adalah kita harus memandang aktivitas kia sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Artinya, memahami konsep bahwa tidak semua yang bacaan di suat kabar atau tayangan televisi dapat dipercaya begitu saja. Karena sebagian yang kita lihat di televisi merupakan masalah politik, sebagian lagi sebagai sastra dan sebagian masalah sosiologi.

Bahkan Sardar pada awal pembuka buku ini memberikan amaran bahwa studi media penting diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar. Kalau perlu dijadikan sebagai kurikulum reguler di sekolah. Kita harus memastikan bahwa anak-anak selayaknya diberikan alat untuk mengembangkan ketrampilan memandang sesuatu dengan kritis sejak usia dini.

Mengapa? Karena penikmat media (terutama teevisi) yang paling rapuh tentu saja anak-anak. Betapa tidak, berdasarkan data anak usia SD-SM (7-15 tahun), mengisi waktu 30-35 jam seminggu untuk menonton televisi. Padahal isi tontonan televisi sebagian besar berisi sinetron. Alih-alih isi dan cerita sinetron mendidik, menurut yayasan pengembangan Media Anak, sepanjang 2006-2007 adegan kekerasan dan seks sangat dominan dalam sinetron. Celakanya, sulit sekali menghapus sinetron dari daftar tayangan televisi. Pasalnya, tayangan ini memang kerap memperoleh rating tinggi, yang menarik minat pengiklan, yang menyedot lebih 60 persen belanja iklan nasional.


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.