WAKTU

KOLEKSI BUKU

Kamis, 19 Mei 2011

Manusia Utama: Puisi, Politik dan Cinta



Manusia Utama: Puisi, Politik dan Cinta

Oleh: Edy Firmansyah

Judul : Manusia Utama

Penulis : Y. Thendra BP

Penerbit : IBC, Yogyakarta

Cetakan : I, April 2011

Tebal : viii + 55 Halaman

Harga : Rp. 30.000,- (Belum Termasuk Ongkos Kirim)

Barangkali Y. Thendra BP termasuk penyair yang mengutamakan kualitas sebuah karya daripada sekedar menyelam dalam kuantitas. Dalam artian, Thendra tak lagi risau dengan pertanyaan banyak penyair ‘senior’ yang selalu ribut soal kuantitas ketika muncul penyair baru yang masih muda belia: “sudah berapa banyak puisi yang kau tulis?” “Sudah berapa banyak puisimu yang dimuat di Koran nasional?”

Dengan buku puisinya ini ia hendak menampik semua pertanyaan itu bahwa seorang penyair yang berhasil tidak ditentukan oleh seberapa banyak puisi dibuat dan diorbitkan, melainkan seberapa dalam puisi dibuat, dibongkar, digali, dirombak, direvisi untuk mampu menyentuh sisi terdalam kemanusiaan.

Bukankah dengan menulis sekitar 70-an puisi Chairil Anwar mampu member warna baru pada khasanah sastra Indonesia? Itulah mengapa Thendra menulis dalam salah satu sajak pendeknya berjudul April, Haiku, Chairil (yang pernah saya dengar menjadi kredo-nya): aku melangkah/di jalan sajak—/bukan buat ke pesta. Makanya jangan heran jika buku puisi ini hanya merangkum kurang lebih 51 puisi saja. meski tipis tapi sebagian besar puisi dalam buku ini cukup berhasil untuk disebut sebagai puisi yang menyentuh sisi terdalam kemanusiaan itu.

Menurut Putu Oka Sukanta, salah satu penyair lekra terkemuka itu, puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat mengungkapkan/ mempresentasikan dirinya untuk dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan. Bahkan walaupun puisi otobiografis sekalipun. artinya, meski puisi merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi sosial-ekonomi-politik yang melingkupinya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan lain kata, pengalaman penyair adalah pengalaman pembaca juga.

Tentu saja untuk mencapai itu semua diperlukan kerja terus-menerus belajar terus menerus tanpa pamrih. Saya sendiri tak tahu bagaimana proses kreatif Thendra untuk mencipta puisi dalam Manusia Utama dan juga karya-karya yang lain. Tapi melalui puisi-puisi di dalam bukunya ini terasa sekali bagaimana Thendra berjibaku dengan kata-kata, dengan pemilihan diksi yang sederhana, memadukan dengan kerpibadian penulisnya, bacaan-bacaan yang pernah ia konsumsi juga idelogi dirinya untuk mencipta dan membetuk sajak-sajaknya. Hasilnya adalah bukan hanya sajak-sajak yang berirama aliran keindahan yang menggetarkan, tetapi juga mampu mencipta arus tragis, ironi, dan kegetiran yang dalam. Salah satu contoh sajak Thendra yang cukup berhasil menerbarkan ironi menurut saya adalah sajak berjudul Repromosi sebuah kota:

Siang di kotaku ramah sekali/pohon pohon tumbuh melindungi rumah/kau bisa berjalan di bawah cahaya matahari/yang disaring daun-daun/mendengar kicau burung/angin lembut menyentuh//siang di kotaku ramah sekali/tak ada kemacetan/orang orang tahu aturan/karena pemimpin bijak/rakyat taat pajak//datanglah ke kotaku/kau akan menemukan omong kosong yang indah ini/lebih banyak lagi//

Dikemas dengan semangat humor dan kesannya main-main sebagaimana puisi-puisi mbeling yang sempat booming di era tahun 80-an itu. Tapi lewat puisi itu kita diajak untuk menyaksikan kebusukan sebuah rejim yang korup dan bebal. Dan rejim tersebut justru dibangun dan ‘dibesarkan’ dengan segala pencitraan dan opini-opini yang keluar dari mulut aparat dan pejabatnya penuh dengan kemunafikan. Artinya meski tak langsung sajak ini dengan selera humornya menyeret pembacanya pada pembacaan politik.

Tidak dalam sajak itu saja sebuah diksi yang secara tegas mengolok-olok rejim kekuasaan yang kini sedang berdiri ini—yang barangkali oleh kebanyakan penyair justru dihindari—digunakan. Dalam sajak Merak-Bakauheni misalnya, dengan cukup manis penulisnya mengolok-olok Negara metafora kapal tua: ….kapal ini begitu lambat/congkak dan tua/seperti pemerintah/mengigau atas cahaya bawah laut/……

Apakah salah jika seorang penyair berpolitik dengan memilih ideologinya yang notabene menantang langsung rejim Negara yang bebal dan korup? Saya rasa tidak. Sebagaimana diungkapkan Putu Oka Sukanta diatas bahwa seorang penyair suka tidak suka adalah bagian kecil dari masyarakat sekitar dimana ia tinggal. Penyair adalah bagian dari masyarakat. Karena selain penyair terpengaruh oleh bacaan-bacaan yang pernah ia mamah dan tersimpan dalam otaknya, ia juga terpengaruh oleh kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakatnya. Dan Thendra secara tegas memilih untuk tidak tercerabut dari akar masyarakatnya. Yakni masyarakat Indonesia pasca kolonial yang miskin, lemah dan masih terus tertindas oleh pengelola Negara yang menghamba pada neoliberalisme yang menghisap itu. Itulah mengapa Thendra sempat menyindir penyair yang hanya bergelut dengan kata tapi buta dengan realitas social dalam salah satu bait sajaknya berjudul solilokui: yang tidur dalam sajak: rabun senja!

Tapi Thendra juga tak mau ia tercerabut dari akar sastranya. Atau tepatnya tidak mau tercerabut dari akar sastra Indonesia. Sastra Indonesia adalah sastra lingua franca. Sastra yang dibentuk dari perpaduan sastra-sastra berbagai belahan dunia, dari ujung barat ke ujung timur yang Dari ujung selatan ke ujung utara. Bertumpang tindih dengan sastra lokal nusantara yang maha luas. Karenanya ia tak serampangan menulis puisi sekedar menggugat semata. Ia berjibaku betul untuk mampu melahirkan karya puisi yang berhasil yang—meminjam mukaddimah Lekra—tinggi mutu ideologinya juga tinggi mutu artistiknya.

Karena pergulatannya yang inten untuk menciptakan puisi yang berhasil itu, sengaja tidak sengaja, suka tidak suka seringkali pengaruh penyair-penyair yang pernah ia geluti karya-karyanya itu juga larut dalam puisinya. Dalam hal ini memang perlu kemahiran tersendiri dalam meracik puisi sehingga tidak kehilangan karakteristik puisinya sendiri. Dan saya yakin tidak ada penyair atau penulis yang mampu lepas dari pengaruh karya atau tulisan lain.

Saya sering mengibaratkan seorang penulis atau penyair dalam melahirkan karya itu seperti seorang ibu melahirkan. Jika seorang ibu menginginkan anaknya sehat, maka ia harus memakan makanan bergizi dan minuman bergizi. Karena makanan itulah yang menentukan bayi-nya lahir sehat dan montok. Ya, jika si ibu selama masa kehamilannya mengkonsumsi kentaki dan minumnya koka kola dan fanta, dijamin anaknya lahir invalid. Dalam hal ini ibulah yg menentukan makanan untuk janinnya. Sebagaimana karya, penulislah yang menentukan karya macam apa yang harus ia konsumsi untuk melahirkan karya yang “sehat”. Inilah apa yang disebut sebagai pembacaan selektif barangkali.

Bergerak dari pengaruh Chairil Anwar, Charles Bukosky, Jim Morrison, Subagio sastrowardoyo dan banyak lain, Thendra menciptakan puisi dengan ciri khasnya sendiri. Pengaruh sajak Chairil berjudul selamat tinggal, terutama pada bait awal sajak tersebut Misalnya, oleh Thendra diobrak-abrik menjadi haiku yang berbunyi: aku melangkah/di jalan sajak—/bukan buat ke pesta. Syair lagu Jim Morrison, vokalis The Dorrs berjudul “Light My Fire” yang fenomenal itu diramu ulang dalam sajak “Nyalakan Apiku” berkenaan dengan pengaruh itulah diksi-diksi politis dalam puisi thendra justru diramu dalam tema besar: puisi cinta. Hasilnya bukan sekedar puisi cinta picisan, melainkan puisi-puisi cinta yang menggetarkan. Lunto Kloof, Cinta Pertama yang gagal diselamatkan” yang pernah menjadi salah satu juara dalam lomba puisi cinta Tabloid Nyata beberapa tahun silam itu salah satu contohnya.

Dengan kata lain meski buku puisi ini menyisipkan diksi-diksi gugatan politis, tapi karena dibalut cukup manis dalam tema cinta, pembaca puisi yang alergi dengan puisi lugas yang menggugat dan menantang langsung secara politik pada rejim represif semisal puisi Widji Thukul atau puisi-puisi pamflet WS Rendra justru sama sekali tak akan merasakan gugatan politik tersebut. Karenanya mereka yang menyukai tema cinta, kepedihan, harapan, kegembiraan, dan kenangan masa silam yang biasa dialami kebanyakan orang, akan menemukannya lebih banyak lagi dengan membaca buku ini.

Tentang Penulis

Edy Firmansyah adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Penulis buku puisi “Derap Sepatu Hujan” (2011).

Senin, 25 April 2011

DERAP SEPATU HUJAN, PADA MULANYA ADALAH RASA

DERAP SEPATU HUJAN, PADA MULANYA ADALAH RASA
Oleh: Elly Suryani
Penulis, tinggal di Palembang


















Pada mulanya adalah rasa

menghentak-hentak di jiwa

Menggedor pintu-pintu asa

Melompati jendela nada dan kata

hai, ada hujan nyanyi

di awan hitam

dan langit mengabur

dalam rasa rasa

o, sajaksajak lahir

dari rahim hujan

Kau kan rasakan katakata

seperti jutaan jarum jatuh

ke dalam dada

Maka bacalah baca

Derap Sepatu Hujan

rasa Sajak-sajaknya

larut ke dalam hujan. ke dalam malam

---
Begitulah kesan saya terhadap buku “Derap Sepatu Hujan” karya Edy Firmansyah. Sengaja saya buka dalam beberapa larik kata. Entah ia sajak atau apa. Buku itu berisikan 104 puisi. Edy Firmansyah, penulis kelahiran Pamekasan Madura yang sudah banyak menerbitkan kumpulan cerpen dan puisi. Ini buku yang layak anda miliki. Tak kan anda tau kekuatan isinya sebelum anda membacanya sendiri. Lihatlah nanti dalam aneka puisinya. Hujan Bulan Desember. Tak Ada Natal Di kampungku. Cinta Kita Belukar. Sajak Pulang. Dan lain-lain.

Ketika ia (Edy Firmansyah) bertanya “Apakah yang memaksa kita membuat puisi …? Maka setelah membaca bukunya, tanpa ragu saya jawab : Rasa. Rasalah yang memaksa kita membuat puisi, tanpa kita sadari. Rasa, sesuatu di jiwa yang muncul seketika dan tak mampu kita pungkiri. Rasa yang menghentak-hentak ketika sesuatu memenuhi ronggga jiwa. Rasa terhadap apa saja, kesedihan, kegalauan, gelisah dan kebahagiaan. Rasa yang akan menjadikan manusia bisa mengambil hikmah dan menatap kesedihan dengan senyuman. Kekuatan rasa, akan membuat kesedihan menjadi sebuah puisi. Membuat kebahagiaan menjadi sajak cinta. Menjadikan kegelisahan sebagai sebuah pemberontakan dan pendobrakan yang mungkin mencekam.

Maka Kumpulan Puisi Edy Firmansyah dalam buku “Derap Sepatu Hujan” ini memperlihatkan kepada kita sebuah kekuatan rasa. Rasa terhadap aneka realitas kehidupan. Rasa yang terus mengucur seperti rinai hujan. Rasanya begitu kuat, seperti jalan pulang yang tenang sekaligus melegakan.

Review pertama untuk karya para sahabat. Review berikutnya adalah buku “Black Book” Winda Krisdanefa. Masih menunggu tibanya buku itu. Salam.

---
SUMBER TULISAN:
http://media.kompasiana.com/buku/2011/04/26/derap-sepatu-hujan-pada-mulanya-adalah-rasa/
--

BERMINAT DENGAN BUKU "DERAP SEPATU HUJAN"? MURAH SAJA HANYA Rp. 33.000,- (Sudah termasuk Ongkos Kirim Se-Pulau Jawa. di luar Pulau Jawa Tambah Ongkos Kirim Rp. 5.000,-).
Jika berminat silahkan inbox ke stapers2002@yahoo.com atau kelanabuku@yahoo.com
atau inbox ke fesbuk saya (Edy Firmansyah) atau bisa di no. Hp: 081937381133

Sabtu, 19 Maret 2011

APA YANG MEMAKSA KITA (PENYAIR MUDA) MEMBUAT PUISI


APA YANG MEMAKSA KITA MEMBUAT PUISI*)

Puisi adalah dunia rekaan, demikian ungkap Sapardi Joko Damono. Ya. Sebuah dunia yang direka-reka dalam imajinasi menjadi sebuah kata yang disusun berbaris. Lain sapardi, lain juga kata Emha Ainun Najib. Bagi Emha puisi adalah mainan. Menjadi penting keberadaan disaat bermain dan menjadi tak penting keberadaan disaat kita menjelang tidur malam.

Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, ketika puisi adalah dunia rekaan, ketika puisi hanyalah barang mainan seperti ketapel dan pisau, mengapa,toh puisi harus ditayangkan, harus ditunjukkan ke muka publik melalui media sastra dan budaya, koran-koran, situs-situs internet dan jejaring sosial. Mengapa penulis puisi dunia maya kerap gelisah ketika puisi yang di posting di catatan facebook, misalnya, tak jua dapat acungan jempol dan komentar positif. Dan sebaliknya ketika mendapatkan puluhan jempol dan pujian hati penulisnya berbunga-bunga tiada tara? Meskipun tak ada yang bisa menduga kawan dunia maya yang memuji dan memberi jempol sedang main-main atau iseng atau iba semata? Mengapa banyak orang berduyun-duyun mengirimkan puisinya ke berbagai macam media baik cetak maupun online?

Pertama, karena popularitas. Ya,dalam dunia yang serba instan ini siapa yang tidak ingin popular dengan cara instan pula. Fenomena reality show macam Indonesian Idols telah menunjukkan hal tersebut. Ribuan pendaftar rela berderet-deret seperti mobil parkir demi sebuah popularitas. Begitu juga dengan berpuisi. Kita bisa popular dengan menunjukkan kemampuan, keunikan kata didepan publik. kita akan diakui sebagai penyair jika puisi kita menjadi konsumsi orang lain. Menenggelamkan imajinasi orang dalam tarian kata-kata yang kita buat. Merangsang jiwa pembaca melalui erotisme kata-kata kita sehingga akhirnya membuat orang lain mampu berorgasme.

Bahkan untuk mendapatkan kesan ‘hebat’ sebuah puisi ditulis dengan kata-kata berat dan kadang kata yang tak lazim digunakan sehari-hari hanya sekedar untuk menunjukkan penulisnya adalah pemamah kata yang rakus dari kamus. Akibatnya, puisinya—meminjam istilah Putu Oka Sukanta—menjadi puisi bisu. Ia hanya dimengerti dan dinikmati oleh penulisnya (mungkin juga tidak) dan selebihnya ia memperdaya pembaca dengan kebisuannya untuk diposisikan sebagai puisi maha hebat, saking hebatnya sampai tidak ada orang yang bisa memahaminya. Karena itu, Putu Oka Sukanta menyarankan agar Puisi semacam itu disimpan di dalam laci penulisnya. sebab puisi macam begitu adalah salah satu perangkap pembodohan.

Itulah mengapa ketika menyampaikan ceramahnya dalam launching buku puisi ”Burung Burung Bersayap Air” Karya Dewi Nova di PDS HB Jassin – TIM Jakarta, 25 November 2010 silam, Putu Oka Sukanta menegaskan, galibnya, puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat mengungkapkan/ mempresentasikan dirinya untuk dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan, walaupun puisi merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi sosial-ekonomi-politik yang melingkupinya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan lain kata, pengalaman penyair adalah pengalaman pembaca juga.

Dan upaya untuk mencapai sebuah puisi yang memiliki ruh kemanusiaan yang universal itu seorang penyair tidak harus terjebak pada ambisi-ambisi instan hanya untuk sekedar menjadi terkenal, diakui dunia sastra dan karya-karyanya dimuat di koran-koran. Dan untuk mencapai itu diperlukan kerja terus-menerus belajar terus menerus tanpa pamrih.

Kedua, puisi adalah sarana pembrontakan. Bahkan lebih inten menjadi sarang para pembrontak daripada bidang sastra yang lain. Makanya, anak muda yang lagi putus cinta, anak muda yang selalu dikekang dalam banyak hal, atau sedang jatuh cinta sekalipun memiliki kecenderungan untuk membuat puisi. Dan ketika puisi sudah jadi rasanya masih saja kurang lengkap ketika kegelisahan, kesukaannya, kegagalannya tak diketahui oleh publik. Merasa kurang klop.

Tentu saja di ranah yang lebih serius dan meluas pembrontakan dalam puisi tidak lagi bersifat personal, tetapi meluas dan tegas. Ambillah contoh misalnya, Chairil anwar dengan puisinya yang menjadi pelopor puisi modern. Puisi-puisi Widji Thukul, puisi Pablo Neruda untuk sekedar menyebut contoh. Karenanya dalam posisi ini tentu saja tentu perlu dipertanyakan pula pernyaataan sutardji calsoum bachri yang menegaskan bahwa puisi tak perlu makna, pokoknya enak dibaca itulah puisi.

Maka melihat kecenderungan itu saya, semakin sangsi dengan apa yang diutarakan oleh Sapardi mampun Emha diawal tulisan ini. Mungkin mereka berucap begitu karena popularitas telah berada ditangan. Bahkan bangun tidurpun, ketika mereka membuat puisi, puisinya dianggap hebat oleh khalayak. Dan kuat dugaan kalau dikirimkan ke media massa, pasti langsung diloloskan. Sedangkan bagi para pemula, sebagus apapun puisinya, masih harus berkali-kali kecewa karena tak direspon positif oleh media yang saat masih dianggap sebagai satu-satunya pusat mempublikasikan sebuah karya sastra. Padahal puisi-puisi karya pemula tak kalah garangnya dengan puisi-puisi Rendra. Hanya saja mereka kalah tenar.

Untuk sekarang bagi kita penyair pemula adalah menolak apa yang dikatakan oleh Sapardi Joko Damono bahwa puisi hanyalah dunia rekaan maupun Emha Ainun Najib yang mengatakan puisi hanya barang mainan. Berpuisi adalah belajar terus-menurus, bekerja terus-menerus. Seperti yang dikatakan konfusius; tak ada yang bisa dibicarakan tanpa belajar sajak. Tentu saja alangkah beruntungnya jika di dunia maya ini ada penyair sekaliber Umbu Randu Paranggi yang mau dengan tanpa pamrih mengasah menggodok para pemuda yang gemar menulis puisi di dunia maya untuk dapat membuat puisi yang baik. Karena di pundak penyair mudalah masa depan perpuisian Indonesia dibebankan.

Nah, dengan semangat itulah buku antologi puisi ini dibuat.

*) Rencananya tulisan ini akan dijadikan pengantar untuk buku antologi puisi saya “Derap Sepatu Hujan”. Tapi karena beberapa hal saya mengurungkannya. versi lain dari tulisan ini pernah dimuat di www.cybersastra.net april 2004, kemudian diolah ulang dan dimuat di harian SURYA, Mei 2006. Jadi ini adalah versi ke-3 sejak dibuat tahun 2004 lalu.

**) Berminat dengan antologi Puisi “Derap Sepatu Hujan”? hanya Rp. 32.000,-(sudah termasuk ongkos kirim pemesan di pulau jawa). Jika berminat bisa kirim email ke stapers2002@yahoo.com