WAKTU

KOLEKSI BUKU

Senin, 22 September 2008

Belajar Makna Hidup Dari Santiago

Dimuat di KPO Bali Edisi 160, 16 - 30 September 2008


Judul : The Old Man and The Sea
Penulis : Ernest Hemingway
Penerjemah : Dian Vita Ellyati
Penerbit : Selasar Publishing, Surabaya
Cetakan : I, April 2008
Tebal :xii + 132 Halaman

Peresensi : Edy Firmansyah

Karya sastra adalah disiplin yang paling lekat dengan kehidupan manusia. Sebab sastra berurusan langsung dengan kepercayaan, harapan, dan simpati manusia. Sehingga manusia dengan segala keperkasaan dan kerapuhannya mampu dilukiskan dengan baik dan memikat. Tak heran mengulang-ulang membaca karya sastra selalu mendatangkan inspirasi baru. Sebagaimana membaca Novel berjudul The Old man And The Sea ini.

Novel ini adalah karya utama (masterpiece) Ernest Hemingway, penulis kelahiran Illionis, Chicago, yang telah banyak menyita perhatian dunia. Karya ini berhasil memenangi hasih pulitzer tahun 1953 untuk kategori fiksi. Ia juga memperoleh Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters pada tahun yang sama. Yang paling bergengsi, ia memperoleh Nobel Sastra tahun 1954 untuk keahlian luar biasanya pada seni narasi dan untuk pengaruh yang telah dihasilkan atas gaya penulisan kontemporer.

Kisah The Old man And The Sea memang inspirasional. Ada kebersahajaan, kesabaran, kekuatan hati serta semangat yang tak pernah menyerah pada keadaan. Kisah nelayan tua bernama Santiago yang telah berhari-hari bertarung mendapatkan ikan Marlin benar-benar menyentuh. Santiago, seperti hendak menantang anasir Soren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark yang menyatakan bahwa hal yang paling ditakuti manusia sebenarnya adalah mengalahkan diri sendiri dan melakukan perubahan radikal dalam hidup.

Pantas jika cerita yang pertama kali muncul sebagai bagian dari majalah Life edisi I September 1952 ini langsung menuai sukses besar. Majalah tersebut melejit luar biasa. Dalam dua hari 5,3 juta eksemplar majalah itu ludes terjual.

Cerita ini dibuka dengan narasi lelaki tua bernama santiago yang telah melaut selama 84 hari tetapi tanpa berhasil menangkap seekor ikanpun. Pada 40 hari pertama sebenarnya Santiago ditemani seorang bocah bernama Manolin. Tetapi setelah 40 hari tidak mendapatkan hasil, Manolin dilarang orang tuanya untuk berlayar dengan Santiago. Sebab dalam masyarakat nelayan pantang berlabuh tanpa membawa hasil. Nelayan yang demikian akan divonis salao, yakni sebutan untuk nelayan yang dianggap sial seumur hidupnya.

Namun Manolin tidak peduli dengan tudingan masyarakat tentang Santiago. Anak laki-laki gubuk itu setiap malam selalu setia membantu Santiago menarik peralatan pancing, memberinya makan dan mendiskusikan baseball—terutama idola santiago, Joe DiMaggio.

Sedangkan Santiago juga tak terlalu ambil pusing dengan vonis salao itu. Bahkan olok-olok anak-anak muda disekitarnya sebagai orang tua yang aneh ditanggapi dingin. Ia tidak marah. Karena ia mengerti jiwa anak muda. Lagipula tak ada orang lain yang bisa meraba kemampuan manusia kecuali dirinya sendiri, begitu falsafah hidupnya.

Falsafah itulah yang kemudian membuatnya nekat menjelajahi selat untuk memancing seorang diri. Dengan satu keyakin bulat dalam dirinya; bahwa nasib sial yang dituduhkan masyarakat akan berakhir. Bahkan falsafah tersebut mirip ungkapan Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar, bahwa keberhasilan berasal dari satu persen bakat dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras.

Di tengah laut Santiago berhasil menangkap seekor ikan Marlin yang besar dan kuat. Berhari-hari ia berjuang menaklukkan ikan tersebut seorang diri. Dikerahkan semua kemampuannya, semua pengalamannya dengan penuh kesabaran. Dengan gaya naratif Ernest hemingway yang begitu kuat, pembaca seakan-akan berada disamping Santiago dan merasakan sendiri kesepian, penderitaan dan kesendirian di tengah laut.

Membaca kisah ini mengingatkan kita pada kisah pewayangan, Mahabharata. Dalam salah satu riwayat dikisahkan seorang raja muda bernama bambang Ekalaya yang marah dan sakit hati kepada Arjuna (dari Pandawa) karena Arjuna telah secara kurang ajar menggoda istri Bambang Ekalaya yang bernama Dewi Anggraini sewaktu dalam perjalanan menuju Hastina.

Bambang Ekalaya tahu Arjuna tidak pernah terkalahkan dalam menguasai ilmu panah. Untuk bisa membalas sakit hatinya, untuk bisa menandingi Arjuna, tidak ada cara lain kecuali berguru pada orang yang melatih Arjuna, yakni Pendeta Durna. Sayangnya Pendeta Durna sudah bersumpah tidak boleh menerima murid selain dari keluarga hastina dan Pandawa. Dengan kata lain, Pendeta Durna menolak menerima Bambang Ekalaya sebagai murid.

Tentu saja Bambang Ekalaya kecewa berat. Namun terdorong rasa dendam yang membara, ia kemudian masuk hutan dan membuat patung dari kayu yang menyerupai Pendeta Durna. Patung itu yang kemudian dianggap sebagai guru-nya. Ia memperlakukan patung itu sebagai guru yang sesungguhnya. Patung itu disembah, dipuja, diberi makan seperti orang memberi sesaji dan dimintai doa restu tiap kali Bambang Ekalaya belajar memanah. Hasilnya? Luar biasa.
Dalam kisah itu diriwayatkan, ilmu memanah Ekalaya tidak kalah dengan ilmu memanah Arjuna. Mereka setara. Bahkan dalam sebuah pertarungan Arjuna nyaris tewas oleh panah Ekalaya. Memang akhirnya Bambang Ekalaya menemui ajal. Tetapi bukan karena kehebatan panah Arjuna, melainkan tipu muslihat Bathara Krisna.

Bagaimana nasib Santiago? Memang Santiago tidak sesial Ekalaya. Benar memang ia tidak berhasil membawa ikan marlin itu utuh ke daratan. Karena ikan tersebut diserang hiu. Tapi kerangka ikan yang masih menyangkut dikailnya sudah cukup memberikan bukti betapa kemampuan manusia tidak bisa diprediksi hanya dengan melihat bentuk fisiknya saja. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer dalam Novelnya Bumi Manusia; "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput( baca: sempurna).


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bersastra Kita (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Minggu, 21 September 2008

Bongkar Hegemoni Media

Dimuat di KPO Bali Edisi 159, 1 - 15 September 2008


Bongkar Hegemoni Media


Judul : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Ziauddin Sardar
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 178 Halaman
Peresensi : Edy Firmansyah

Tak seorangpun bisa lepas dari jeratan kuasa media. Berdasarkan riset, rata-rata manusia di era mondial ini menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan berselancat di internet. Artinya, manusia menghabiskan sepertiga dari hidupnya dengan membenamkan diri dalam media. Sehingga kemampuan berbicara, berpikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitasnya sendiri dibentuk oleh media.

Padahal tak semua tayangan dan isi media memberikan pengetahuan dan wawasan baru sebagai upaya manusia mengembangkan diri. Pasalnya akumulasi media di tangan beberapa korporasi justru lebih mempertimbangkan bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan antar media. Makanya tak heran demi mengejar popularitas dan menjadi media nomer satu yang paling diminati pemirsanya mereka malah menayangkan acara yang nyaris penuh dengan fatamorgana, hiperealitas dan bertendensi mengeksploitasi pemirsa.

Bagi penikmat media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Karenanya isi tayangan dan pemberitaan media tak kalah ampuhnya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah yang menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup.

Karena itu, menurut Ziauddin Sardar, penulis buku Membongkar Kuasa Media ini, satu-satunya cara agar kita tidak dimangsa media adalah kita harus memandang aktivitas kia sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Artinya, memahami konsep bahwa tidak semua yang bacaan di suat kabar atau tayangan televisi dapat dipercaya begitu saja. Karena sebagian yang kita lihat di televisi merupakan masalah politik, sebagian lagi sebagai sastra dan sebagian masalah sosiologi.

Bahkan Sardar pada awal pembuka buku ini memberikan amaran bahwa studi media penting diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar. Kalau perlu dijadikan sebagai kurikulum reguler di sekolah. Kita harus memastikan bahwa anak-anak selayaknya diberikan alat untuk mengembangkan ketrampilan memandang sesuatu dengan kritis sejak usia dini.

Mengapa? Karena penikmat media (terutama teevisi) yang paling rapuh tentu saja anak-anak. Betapa tidak, berdasarkan data anak usia SD-SM (7-15 tahun), mengisi waktu 30-35 jam seminggu untuk menonton televisi. Padahal isi tontonan televisi sebagian besar berisi sinetron. Alih-alih isi dan cerita sinetron mendidik, menurut yayasan pengembangan Media Anak, sepanjang 2006-2007 adegan kekerasan dan seks sangat dominan dalam sinetron. Celakanya, sulit sekali menghapus sinetron dari daftar tayangan televisi. Pasalnya, tayangan ini memang kerap memperoleh rating tinggi, yang menarik minat pengiklan, yang menyedot lebih 60 persen belanja iklan nasional.


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Jumat, 29 Agustus 2008

Best Of The Best Jurnalisme Sastrawi Indonesia

Dimuat di Media Indonesia, 30 Agustus 2008

Judul : Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan
Memikat
Penyunting : Andreas Harsono dan Budi Setiyono
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : II (Edisi Revisi), Mei 2008
Tebal : xxvi + 324 halaman
Presensi : Edy Firmansyah

Buku yang ada di tangan pembaca ini barangkali merupakan 'warisan terakhir' majalah Pantau. Delapan cerita yang dimuat antologi ini adalah hasil kerja kontributor majalah Pantau antara 2001 dan 2004. Semua karya dalam kumpulan ini dipilih ramai-ramai lewat mailing list. Isinya macam-macam. Mulai dari cerita soal tentara Indonesia di Aceh, cerita soal warga Malaysia yang mengebom Atrium Senen, hingga cerita seorang pemulung bernama Kebo yang mati dibakar warga Jakarta. Bahkan bisa disebut kumpulan ini adalah best of the best reportase majalah Pantau.

Memang buku ini cukup berhasil dalam hal menyuguhkan reportase yang hidup. Bahasanya renyah, alur ceritanya runut. Seakan-akan kita tak sedang membaca sebuah reportase, melainkan sedang membaca cerpen. Para penulis dalam kumpulan ini benar-benar pelari maraton yang tangguh dalam jurnalisme.

Siapa pun bahkan dari kalangan manapun bisa menikmati seluruh isi buku ini. Bahkan keinginan kuat buat menerangkan kepada khalayak ramai tentang jurnalisme sastrawi, atau juga dikenal sebagai narrative reporting, cukup tersampaikan lewat buku ini.

Melalui kumpulan artikel itu pengelola majalah Pantau mencoba membuat perubahan baru jurnalisme di Indonesia. Setidaknya, sejarah tentang jurnalisme sastrawi pernah lahir di Indonesia. Buku ini buktinya. Sebagaimana galibnya sejarah, buku memiliki perjalanan hidupnya sendiri. Apakah disambut antusias atau sepi-sepi saja kita serahkan saja pada pasar.

Edy Firmansyah, Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura

Senin, 04 Agustus 2008

Bagai Ayam Mati di Lumbung Padi (dimuat di KPO, Edisi 1-15 Agustus 2008)


Bagai Ayam Mati dilumbung Padi
Oleh: Edy Firmansyah

Judul : Ironi Negeri Beras
Penulis : Khudori
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2008
Tebal : xvi + 366 Halaman


Hampir semua negara di dunia kelimpungan ketika tiba-tiba harga beras melonjak dan mulai langka di pasaran akhir-akhir ini. Antrean penduduk di berbagai belahan dunia untuk mendapatkan jatah beras subsidi mewarnai media cetak dan stasiun televisi. Pasalnya, beras mrupakan pangan pokok (stape food) bagi sekitar 3 miliar orang atau sekitar separuh penduduk dunia. Bahkan di banyak negara di Asia, beras menyediakan 30 – 80 persen kebutuhan konsumsi kalori per kapita.

Sejatinya petani Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang paling beruntung dengan keadaan tersebut. Indonesia adalah salah satu produsen dan konsumen penting beras dunia. Sekitar 70 persen dari 25,4 juta rumah tangga petani adalah petani beras (baca: padi) (hal. v). Para petani akan menuai hasil karena di tangan petanilah produksi pangan dilakukan. Melalui tangan petani pula distribusi pangan disalurkan. Tapi yang terjadi justru jauh panggang daripada api. Ditengah melonjaknya harga pangan dunia, para petani ibarat ayam mati di lumbung padi. Sebab penghasil pangan manusia itulah yang menjadi kelompok pertama yang menderita kelaparan.

Berdasarkan data Badan Bimas Ketahanan Pangan tahun 2004, jumlah kabupaten/kota yang termasuk kategori rawan pangan berisiko tinngi dan sedang terus mengalami peningkatan drastis. Pada tahun 2000 jumlah kabupaten/kota yang mengalami rawan pangan mencapai 138 kabupaten/kota atau 42,59 persen. Namun pada tahun 2002 jumlah masuk daerah rawan pangan naik menjadi 139 kabupaten/kota atau 48 persen. Ironisnya lagi, propinsi-propinsi yang tergolong lumbung pangan nasional dan pangannya selalu surplus, seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan justru dilanda rawan pangan.

Sebenarnya masalah rawan pangan ditengah gelimang beras bukanlah monopoli Indonesia. Berdasarkan laporan United Nation Population Funds (UNFPA) yang diterbitkan akhir September 2001 menyebutkan bahwa meski secara teoritis semua penduduk dunia bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, tapi kenyataannya hampir semua penduduk mengalami kekurangan pangan, dan kebanyakan terjadi di negara berkembang, termasuk hampir semua negara Afrika sub-sahara. Di negara berpendapatan rendah ini, tak kurang 800 juta orang kekurangan makan kronis (hal. 105).

Apa penyebabnya? Khudori dalam bukunya berjudul Ironi Negeri Beras ini memberikan jawabannya. Setidaknya ada tiga hal mendesak yang ditekankan dalam buku setebal 366 halaman ini agar negeri ini kembali bangkit menjadi negeri yang kaya beras. Pertama, mempertimbangkan pengolahan pertanian dengan prinsip keragaman hayati dan kearifan lokal. Dengan kearifan lokal, terbukti nenek moyang kita mampu membangun kebutuhan akan obat farmasi, bahan kosmetika dan pangan bergizi dari flura dan fauna. Dari cara-cara itu, usia hidup nenek moyang kita bisa melebihi 80-90 tahun.

Pasalnya sejak Revolusi Hijau ditancapkan di negeri ini sepanjang tahun 1960-an hingga 1970-an para petani seakan kehilangan falsafah hidupnya. Bahkan Greertz (1973) menghipotesakan sebagai agricultural involution (pemungretan pertanian).

Para petani telah terpisah dalam alam lingkungannya. Revolusi Hijau telah memaksa petani memenuhi asupan produksi berupa bibit unggul, pupuk buatan, pestisida dengan membeli pada toko-toko besar yang menjadi perusahaan transnasional milik bangsa-bangsa utara. Memang dengan revolusi hijau produksi bisa digenjot. Hanya dalam tempo 14 tahun, produksi padi di Indonesia bisa dipompa dari 1,8 ton per hektar menjadi 3,01 ton per hektar. Puncaknya Indonesia bisa berswasembada beras pada tahun 1984. Namun kebanggaan itu tidak berlangsung lama.

Sebab asupan kimiawi yang tidak terkendali dan pola tanam monokultur dari program Revolusi Hijau telah menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Tidak banyak disadari bahwa penggunaan pestisida justru lambat laun menciptakan mutasi gen pada hama sehingga hama pertanian menjadi kebal terhadap pestisida. Disamping itu, pestisida juga turut membunuh predator hama yang sejatinya memberikan perlindungan pada hasil pertanian. Makanya jangan heran jika saat ini para petani sering gagal panen karena serangan hama. Belum lagi kerugian petani karena lepasnya keragaman bibit lokal ke tangan korprasi transnasional.

Kedua, sudah saatnya Indonesia tak lagi menjadi ’anak manis’ kebijakan internasional semacam IMFdan WTO. Indonesia harus berdiri diatas kaki sendiri dalam menentukan ketahanan pangan. Sebab terbukti liberalisasi pasar pangan domestik justru memperburuk ketahanan pangan nasional. Sudah semestinya Indonesia belajar dari sejarah. Sejauh ini, negara-negara maju masih memberikan subsidi demikian besar kepada para petaninya bukan semata-mata karena negara-egara tersebut kaya, melainkan karena pangan adalah cerminan kedaulatan bangsa (hal.305). Sungguh merupakan sebuah ironi ketika pemerintah Indonesia justru menarik subsidi sehingga menyebabkan petani berada dalam kubangan kemiskinan.

Ketiga, segera melakukan reformasi agraria. Ibarat sebuah rumah, reformasi agraria merupakan pekerjaan memasang fondasi rumah. Rumah bisa saja berdiri tanpa pondasi, amun rumah tak akan bertahan lama reformasi agraria merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam merombak dan menata kembali bentuk-bentuk penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria dan hubungan sosial agraria bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(hal. 335-336)

Tanpa reformasi agraria, seluruh usaha teknologis dan moneteris di pedesaan dan pertanian untuk menjadikannya sebagai motor penggerak industri manufaktur hanya akan berakhir dengan ketimpangan, karena akar masalahnya sebenarnya berasa pada alokasi sumberdaya yang tidak adil.

Dan untuk memenuhi tuntutan mendesak tersebut diperlukan keberanian baja pemerintah sebagai penentu kebijakan. Sebab tanpa memiliki keberanian untuk melakukan perubahan, saya rasa kesejahteraan—para petani khususnya dan masyarakat luas pada umumnya—hanya tinggal mimpi. Semoga tidak!

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bersastra Kita (SBK) Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta.

Sisi Lain Keberanian para Laskar Mawar (Dimuat di MEDIA INDONESIA, 2 Agustus 2008)



Sisi Lain Keberanian para Laskar Mawar
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Laskar Mawar: Drama Perempuan-Perempuan Pelaku Bom Bunuh
Diri di Palestina
Penulis : Barbara Viktor
Penerjemah : Anna Farida
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xlii + 404 Halaman

Di Palestina, dalam derita penjajahan Israel, telah lama perempuan menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Mereka adalah anak yang menyaksikan ayahnya ditawan, istri yang merelakan suaminya hilang tanpa jejak, ibu yang menguburkan putranya. Bahkan sebagian perempuan Palestina menempuh jalan perjuangan baru. Mereka memilih meledakkan diri sebagai ”Laskar Mawar.”

Adalah Wafa Idris, seorang perempuan berusia 26 tahun yang menjadi pelopor kamikaze perempuan Palestina. Pada siang hari, 27 Januari 2002, ia meledakkan dirinya hingga berkeping-keping di tengah Kota Jerussalem di sebuah pusat perbelanjaan, dan menewaskan seorang lelaki Israel dan melukai 131 orang-orang yang lalu lalang.

Meski sejatinya buku ini merupakan sebuah liputan investigasi, pembaca tidak akan merasakan kejenuhan sebagaimana halnya membaca sebuah berita umumnya. Karena Barbara menggunakan teknik jurnalisme sastrawi yang dikenalkan sejak tahun 1960-an oleh Tom Wolfe. Wawancaranya dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya berbulan-bulan. Dan hasilnya, sebuah tulisan yang panjang yang memadukan teknik jurnalisme ketat serta gaya bercerita novel. Bahkan buku ini berhasil menggambarkan dengan begitu jelas posisi kaum perempuan Palestina ditengah kepungan penjajahan Israel dan dibawah tekanan budaya Patriakat.



TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bersastra Kita (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Jumat, 04 Juli 2008

Terbebas Dari "Penjara" Sekolah


Terbebas dari ”Penjara” Sekolah
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Dunia Tanpa Sekolah
Penulis : M. Izza Ahsin
Penerbit : Read! Publishing House (Kelompok Mizan), Bandung
Cetakan : I, 2007
Tebal : 252 Halaman

Kita boleh saja tak percaya kalau buku ini ditulis seorang anak berusia 15 tahun. Tulisan dalam buku ini begitu jernih dan runut. Membaca buku ini seperti mengalami sendiri cerita didalamnya. Seakan-akan buku ini adalah tulisan seorang pengarang ’profesional’ yang telah lama malang melintang di dunia tulis menulis. Disamping itu, tema yang diambil cukup berat untuk ukuran anak-anak; Pendidikan (baca: sekolah). Tapi benar, Izza, penulis cilik itu, berhasil menyuguhkan tema yang berat itu dalam sebuah buku yang mengesankan. Pantas jika Hernowo dan Jazimah Al-Muhyi—keduanya penulis buku-buku best seller—memuji buku ini.

Apa yang ditulis Izza tentang sekolah? Di mata Izza sekolah bukanlah sebuah lembaga suci yang wajib dimasuki semua anak-anak. Bahkan saking ’suci’nya orang tua rela menggadaikan barang tiap menjelang tahun ajaran baru hanya agar anaknya bisa merasakan bangku sekolah. Sekolah menurut penulis buku ini justru tak jauh beda dengan penjara. Ia hadir untuk membelenggu kebebasan berpikir dan berimajinasi.

Sistem Kebut Semalam (SKS) yang dilakukan siswa setiap menjelang ujian, telah membeberkan kelemahan pendidikan formal kita. Ya, dengan jadwal ujian yang sudah bikin pusing, serta kegiatan pelajaran tambahan di sore hari, murid tidak akan mampu mencapai level merenung. Jangankan merenung, bepikirpun tidak. Yang terjadi kemudian, ujian kerap diwarnai dengan berbagai macam kecurangan. Bahkan mungkin, kecurangan itu akan berlanjut hingga dewasa ketika kebetulan mereka menjadi pejabat, baik kelas tinggi maupun kelas rendah. Korupsi, Kolusi dan nepotisme. Ketiga telah menjadi tren dan memungkinkan negara ini mencapai ’prestasi’ tinggi sebagai negara terkorup nomor tiga di dunia!(Hal.95). Karenanya jalan satu-satunya agar mampu mengembangkan imajinasi dan kebebasan berpikir secara optimal adalah keluar dari sekolah.

Dalam buku ini Izza menceritakan bagaimana pahit getir perjuangannya mewujudkan keinginannya itu; hengkang dari sekolah dan total mengembangkan bakat menulisnya yang sarat dengan imajinasi dan kebebasan berpikir secara optimal. Sebab di mata penulis belia ini tak mungkin seseorang mampu menjadi profesional jika diharuskan menguasai segala disiplin ilmu seperti; Matematika, fisika, biologi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPS (yang terdiri dari pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi), olah raga, kesenian dan sebagainya dalam satu waktu yang bersamaan.

Kalau anda pernah membaca karya Tetsuko Kuroyanagi berjudul Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela atau A Child Called It karya Dave Pelzer, maka buku yang ditulis Izza memiliki gaya bertutur yang mirip dengan buku-buku tersebut. Bedanya jika Kuroyanagi dan Pelzer menulis pengalaman masa kanak-kanaknya ketika dewasa, Izza justru sebaliknya. Ia menulis perjalanan hidupnya saat masih belia.

Memang keinginan tersebut tidak berjalan mulus. Adalah kedua orang tuanya yang justru menjadi penetang paling sengit atas keputusan ’gila’ itu. Dan semenjak Izza melontarkan keputusan ’gila’nya itu hari-harinya seakan seperti neraka. Pertengkaran dengan orang tua kerap terjadi. Bahkan untuk melampiaskan emosinya sang ayah tak segan-segan membanting barang-barang yang ada di rumah. Tapi Izza tetap bergeming dengan keinginannya. Bahkan tawaran win-win solution dari kedua orang tuanya ditepisnya. Orang tua Izza yang notabene adalah pendidik mengharap Izza mampu mengembangkan bakat menulis, tetapi tak harus putus sekolah.

Apa jawaban Izza atas saran itu? Memaksa diri menjalani dua kegiatan (sekolah dan menulis) dijalani bersamaan hal itu tak jauh beda dengan pelari yang menggunakan sebelah kakinya. Sangat tidak efektif. Padahal seorang Psikolog kelas dunia pernah mengatakan bahwa pelajaran di sekolah pada pendidikan dasar sekarang ini hanya mengotori otak karena melupakan hal-hal yang esensial seperti character building atau pelejitan actus para siswa.(hal. 35). ”Meninggalkan sekolah bukan berarti meninggalkan Allah! Bukan berarti menjadi kafir atau berpaling dari agama,” itulah salah satu komentar Izza ketika beradu mulut dengan orang tuanya.

Pengalaman pribadi Izza ini mirip sekali dengan buku-buku yang menghujat sekolah semisal, school is dead-nya (sekolah telah mati) Everett Riemer, ”Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah,” karya Ivan Illich yang termasyur, serta ”Sekolah itu Candu’-nya Roem Topatimasang. Maklum Izza adalah pembaca buku yang rakus terutama buku-buku pendidikan.

Akhirnya setelah mengalami perseteruan panjang, orang tuanya pun luluh. Izza diberi kebebasan memilih jalan hidupnya sendiri. Dan buku yang berada di tangan pembaca ini adalah karya pertama Izza yang dipublikasikan secara luas setelah ia drop out.

Memang kritik Izza terhadap dunia pendidikan tak akan banyak berpengaruh. Seperti kata pepatah; anjing menggonggong, khafilah berlalu. Sekolah masih saja dibanjiri para pendafatar tiap tahun ajaran baru. Bahkan orang tua siswa harus rela menggadaikan barang hanya agar anaknya bisa menrasakan ’nikmatnya’ bangku sekolah.

Meski demikian hadirnya buku ini jelas menjadi tamparan telak terhadap dunia pendidikan kita yang semakin coreng-moreng. Ditengah dunia akademik—yang notabene menjadi garda depan dunia-menulis—dicemari oleh prilaku plagiasi, ghost writers, jual beli skripsi, tesis dan desertasi akibat kemalasan literasi, kita justru disuguhi kisah hidup penulis cilik yang anti sekolah. Selamat membaca.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Penikmat Buku. Redaktur Majalah FOKUS. Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/.

Menafsirkan Lagi Sekularisasi Islam


Menafsirkan Lagi Sekularisasi Islam
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta & Bandung
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxviii + 112 Halaman

Ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000 yang mengkonstantir bahwa abad ke-21 merupakan era kebangkitan agama semakin menunjukkan kebenarannya. Booming buku dan film ”Ayat-Ayat Cinta,” maraknya penerbitan buku-buku Islam, meningkatnya semarak acara keagamaan di televisi, naiknya frekuensi kelas elite berhaji, hingga adanya artis-artis yang beralih menjadi juru dakwah, semakin mempertegas kebangkitan agama (baca: Islam) ditengah gelombang modernisasi.

Sedangkan kebangkitan Islam dalam ranah politik juga nampak dengan maraknya pembentukan partai politik yang berideologi Islam. Tak hanya itu, pusat-pusat kekuasaan dan gedung parlemen juga tengah memperlihatkan representasi santri yang mencolok. Meski demikian, menurut Idi Subandi Ibrahim dalam penganta buku ini, tak akan pernah terjadi islamisasi total (seperti yang digaungkan fundamentalisme religius radikal) atau sekularisasi total (seperti yang diteriakkan oleh ”sekularisme ultra-nasionalis radikal) (hal. xvi)

Pasalnya, respon muslim terhadap modernisasi dan sekularisasi tidaklah homogen, melainkan heterogen. Sebagian muslim lebih bersikap akomodatif terhadap pemikiran sekuler demi modernisasi komunitas Islam. Sementara sebagian yang lain lebih terobsesi pada ide modernsiasi yang berorientasi Islam. Tapi keduanya bermuara pada satu tujuan, yakni berusaha merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia sekular (hal.77)

Itulah inti dari buku berjudul Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia yang ditulis Yudi Latif. Buku ini merupakan terjemahan dari tesis Yudi Latif ketika meraih gelar master di Australian National University (ANU) (1999). Buku ini lahir dari pertanyaan mendasar; apakah proses modernisasi dan sekularisasi secara tak terhindarkan menagrah pada kemunduran agama tanpa memerdulikan karakter khusus dar isuatu agama dan kekhasan sosio-historis suatu masyarakat? Atau apakah mungkin suatu proses sekularisasi bisa berjalan simultan dengan proses islamisasi? Yudi Latif justru memilih yang terakhir. Dengan kata lain, lewat buku ini Yudi Latif hendak memberikan jalan damai bagi perang wacana antara Islam dan sekularisasi yang semakin menghebat.

Untuk menopang analisisnya, ia mengawali dengan memeriksa pembumian teori modernisasi dan sekularisasi, kemudian menggunakan Islam dan perkembangan politik di Indoensia sebagai contoh kasus. Dari situ dapat dilihat ketegangan dialektis proses islamisasi dan sekularisasi dalam masyarakat dan struktur politik. Dia lantas menghampiri perkembangan Islam dan politik di Indonesia sebagai ialog intertektual anara logika sekularisasi, ide internal islam dan kekahasan sosio-historis Indonesia (Idy Subandi Ibrahim dalam Latif, hal.xvi)

Hasilnya, sebuah kesimpulan yang teori umum modernisasi, bahwa ketika modernisasi meningkat, kepercayaan dan ketaatan keagamaan menurun. Pandangan-pandangan seperti Marx yang menganggap agama sebagai candu atau Freud yang menuding prilaku keagamaan sebagai bentuk neorosis masyarakat mendapat bantahannya dalam buku ini. Saat-saat ini agama tidak lagi menjadi sebuah eskapisme, melainkan sebuah jalan membangun kesadaran baru akan kesejahteraan. Buktinya, proyek modenisasi di Indonesia justru melahirkan kesadaran keagamaan baru dikalangan segmen yang luas.

Kondisi tersebut jelas merupakan optimisme akan masa depan Islam Indonesia yang lebih toleran dan terbuka. Yang mampu mengakomodasi nilai-nilsi demokrasi seperti kebebasan, partisipasi, kesejahteraan, keadilan dan pluralisme dalam ajaran Islam yang menjadi prasyarat penting pertumbuhan masyarakat sipil di Indonesia.

Hanya saja dialektika Islam yang dibangun penulis buku ini masih melangit. Artinya, belum menyentuh realitas kehidupan masyarakat secara materialistis. Benar memang, terbangun sebuah dialektika kesadaran masyarakat untuk kembali memasuki dunia spiritual ditengah gempuran modernisme. Namun, mata rantai Islam sebagai agama pembebasan yang bergerak demi advokasi terhadap kaum papa justru tak tersentuh.

Padahal penggusuran, penindasan, dan pengebirian atas nama agama (Islam) masih menjadi santapan sehari-hari kaum miskin. Parahnya, para pemikir keagamaan, ulama dan kiai seakan alpa manakala penertiban gubuk liar, penggusuran pasar menjadi fenomena keseharian masyarakat.

Terlepas dari semua itu setidaknya hadirnya buku ini bisa memberikan pengayaan terhadap keberagamaan kita ditengah derasnya modernisasi di segala lini. Dengan kata lain agama sebenarnya belum sepenuhnya tunduk pada modernisme. Malah sebaliknya—meminjam pernyataan Andre Maltraux, filosof dan negarawan Prancis—inilah abad kebangkitan agama.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Senin, 21 April 2008

Mencari Jalan Lain Melawan Neoliberalisme (Dimuat di Harian SINDO, 20 April 2008)


Mencari Jalan Lain Melawan Neoliberalisme
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan
Penulis : Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xiv + 300 Halaman

Fenomena makin melonjaknya harga kebutuhan pokok dan Bahan Bakar Minyak (BBM) ternyata bukan monopoli Indonesia. Negara-negara berkembang lainnya tengah mengalami krisis serupa. Buktinya antrean masyarakat untuk mendapatkan bahan bakar hingga demo menentang kenaikan harga kebutuhan pokok juga terjadi di Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Ethiopia, Madagaskar, Filipinan, dan beberapa negara lainnya.

Bahkan PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia tengah terancam dan berpotensi besar terjadi Perang Dunia III (PD III) akibat kecenderungan kenaikan harga-harga bahan makanan yang sudah terjadi di banyak negara. Menurut Direktur Jenderal Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) Jacques Diout, gejala itu sudah terlihat dengan jatuhnya korban dalam aksi massa yang memprotes kenaikan harga makanan. Di Haiti misalnya, lima orang tewas dalam aksi unjuk rasa memprotes kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang berujung dengan bentrokan.

Pertanyaannya apa yang menyebabkan krisis tersebut terjadi? Menurut Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, penulis buku ini, semua itu disebabkan karena kebijakan pembangunan ekonomi neoliberal.

Memang sejak dekade 1980-an hampir semua negara berkembang menggeser kebijakan-kebijakan ekonomi mereka ke arah neoliberal dan memberikan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar. Mereka melakukan restrukturisasi peran negara dalam perekonomian untuk meliberalisasi perdagangan domestik, regulasi investasi dan menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara.

Selain pembukaan pasar sebebas-bebasnya, prinsip neoliberalisme lainnya adalah memotong anggaran untuk pelayanan sosial. Misalnya, penabutan subsidi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik (Jalan raya, pembangunan jembatan, bendungan dan sebagainya). Semua anggaran digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan profit. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara maksimal, sehingga mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang menghadang negara-negara dunia ketiga. Seperti kemiskinan, pengangguran, gizi buruk dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk dan sebagainya.

Namun nyatanya, setelah hampir setengah abad sistem pasar ini berjalan, hasilnya justru menyakitkan. Neoliberal membawa masalah baru dan justru memperburuk masalah yang telah ada sebelumnya, seperti meningkatnya kerentanan dunia perbankan, meluasnya krisis finansial, serta semakin lebarnya jurang kemiskinan. Dan parahnya itu terjadi hampir di semua negara yang kini tengah menganut sistem pembangunan berbasis pasar itu.

Karena itu Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku ini menyuguhkan altenatif-alternatif pembangunan yang memungkinkan untuk diterapkan di negara-negara berkembang disesuaikan dengan kondisi suatu negara; seperti sumber daya alam, kelangkaan mata uang asing, kedekatan dengan pasar utama, kondisi sosial politik dan sebagainya. Sebab memasrahkan semua persoalan persoalan ekonomi pada neoliberal adalah kesalahan fatal dan berbahaya (hal. xi)

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yang terdiri dari enam bab mengurai mitos-mitos pembangunan neoliberal yang kerap menjadi pembenar kesuksesan neoliberal di negara maju. Padahal faktanya kebijakan berbasis pasar itu justru menimbulkan malapetaka bagi negara berkembang seperempad abad terakhir ini.

Misalnya saja mitos bahwa negara kaya mencapai kemakmuran berkat komitmen terhadap pasar bebas. Padahal faktanya negara Inggris dan Amerika ketika awal-awal membangun negara justru menerapkan proteksi yang sangat ketat. Bahkan mitos bahwa globalisasi neoliberal tidak dapat dan tidak akan berhenti juga diblejeti oleh Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku ini. Dengan tegas penulis buku ini—mengikuti falsafah Marx—bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan menentang mitos Francis Fukiyama itu.

Pada bagian kedua buku ini menawarkan alternatif sebagai konter bagi neoliberalisme. Setidaknya ada lima alternatif yang disuguhkan dalam buku setebal 230 halaman ini. Sayang buku ini kurang tegas memberikan alternatif kebijakan pembangunan. Benar kita diberi pilihan alternatif tetapi kita tidak disuguhi kendala dan hambatan apa ketika menempuh jalur alternatif itu sehingga ibaratnya kita seperti berjudi dengan sistem ekonomi.

Meski demikian dalam memberikan alternatif, buku ini tidak terkesan menghakimi. Misalnya ketika mencoba memberi alternatif terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) ala neoliberal, penulis buku ini menawarkan dua cara; memanfaatkan ruang dalam sistem HAKI atau menetang sistem itu. Sebab hanya sedikit manfaat ekonomis berkaitan dengan meningkatkan perlindungan HaKI di negara-negara berkembang. Dengan kata lain yang diuntungkan dari HaKI hanyalah para pemilik modal sebagai jalan lempang mempercepat lakunya produksi massal di bidang kesenian dan intelektual berbasis pasar.

Tawaran semacam itu diberikan menurut penulis buku ini karena kelayakan setiap kebijakan tertentu tergantung pada kondisi suatu negara; seperti sumber daya alam, kelangkaan mata uang asing, kedekatan dengan pasar utama, kondisi sosial politik dan sebagainya.

Namun yang paling mendasar menurut saya adalah keberanian para pemimpin negara untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada negara lain. Tanpa keberanian bersikap yang demikian alternatif pembangunan model apapun pasti akan mengalami jalan buntu.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Unversitas Jember. Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/

Kamis, 17 April 2008

Humanisme Radikalistik (Dimuat di KORAN PAK OLES (KPO) Edisi 150, 16-30 April 2008)

Menuju Humanisme Radikalistik
Oleh : Edy Firmansyah*)

Judul : Revolusi Pengharapan: Menuju Masyarakat Teknologi
yang semakin Manusiawi
Penulis : Erich Fromm
Penerbit : Pelangi Cendekia, Jakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxv + 223 Halaman


Ada bahaya laten yang tengah membayangi kehidupan manusia. Bahaya itu bukanlah komunisme, bukan pula fasisme, melainkan “masyarakat yang telah sepenuhnya menjadi mesin” (a completely mechanized society) yang mendewakan produksi material dan konsumsi maksimal dibawah pimpinan Komputer. Masyarakat yang demikian pelan tapi pasti dibunuh daya hidupnya dalam kepasifan total akibat kecanduan konsumsi, sehingga menjadi manusia yang nyaris mati rasa.

Itulah warning Eric Fromm dalam bukunya Revolusi Pengharapan: Menuju Masyarakat Teknologi yang semakin Manusiawi. Ketika manusia sudah semakin mekanis, yang tertinggal hanyalah nafsu menguasai. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, kekerasan kerap dijadikan pilihan. Makanya, jangan heran jika dalam a completely mechanized society kerusakan lingkungan akibat eksploitasi rakus manusia dan konflik antar golongan selalu menjadi masalah yang sulit dipecahkan.

Memang jalan satu-satunya untuk mengakhiri semua itu adalah perubahan. Namun Fromm mengingatkan agar pilihan perubahan tak jatuh pada revolusi radikal (baca: kekerasan). Sebab dengan revolusi tersebut keadaan justru akan bertambah runyam, karena seluruh sistem akan runtuh, dan yang tampil adalah kediktatoran militer atau fasisme. (hal. xiv). Itu artinya penderitaan rakyat semakin panjang karena kehilangan kedaulatan.

Dalam buku ini Erich Fromm menawarkan revolusi humanisme radikal sebagai solusi. Revolusi ini harus melibatkan banyak ideologi yang berbeda dan kelompok sosial. Setidaknya ada tiga tingkatan yang menjadi sasaran perubahan. Pertama, perubahan pola produksi dan konsumsi. Kedua, transformasi manusia, warga negara dan partisipan dalam proses sosial dari obyek-pasif yang secara birokratis termanipulasi menjadi pribadi yangaktif, kritis dan bertanggung jawab. Dan terakhir adalah rebolusi kultural, dimana menghancurkan keterasingan dan kepasifan yang menjadi ciri masyarakat teknologi, yakni dengan menggali potensi cinta dan akal budi sehingga mampu mengatasi fiksasi infantilis.(hal. 196).

Buku ini diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris The Revolution of Hope – Toward a Humanized Technology, merupakan keprihatinan Fromm pada kondisi masyarakat industri modern di Amerika Serikat pada tahun 1968 yang makin tenggelam dalam reifikasi akibat dirasuki kapitalisme. Meski demikian analisa Fromm masih menunjukkan relevansinya, terutama di belahan dunia ketiga dimana dalam banyak hal kondisinya serupa dengan Amerika Serikat pada saat itu.

Kapitalisme yang menjadi sasaran tembak Fromm bukanlah kapitalisme Laisez faire seperti yang disyahadatkan Adam Smith mengenai persaingan bebas. Lebih daripada itu, kapitalisme disini, adalah tahapan lanjut Revolusi Industri, yakni revolusi Industri tahap II. Dimana bukan hanya energi hidup (hewan dan manusia) yang digantikan oleh energi mekanis, tetapi lebih dari itu otak manusia digusur oleh hadirnya otak-otak mesin.

Perkembangan selanjutnya, menurut Daniel Bell adalah proses produksi yang diarahkan pada pembuatan barang-barang yangdiselaraskan dengan hasrat pelepasan dan pemuasan diri tanpa kendali. Artinya semua keinginan manusia dipaksa tunduk pada kaidah pasar. Dalam pasar manusia dipaksa menjadi budak nafsu untuk memiliki apa saja dengan semakin menggila (baca; hedonisme).

Buku ini dibagi dalam enam bab. Bab pertama berbicara tentang masyarakat dalam belenggu industri, konsumerisme dan hedonisme. Bab kedua, bicara mengenai jebakan-jebakan kapitalisme dengan memanipulasi pengharapan manusia. Bab ketiga, Fromm meramalkan munculnya sebuah peradaban baru dengan memanusiakan kaum borjuasi menjadi borjuasi baru yang lebih manusiawi. Bab empat, Fromm bicara tentang hakekat kemanusiaan termasuk juga nilai-nilai dan norma manusia. Dalam bab ini digali secara detail tentang potensi manusia untuk tercapainya sebuah perubahan atau Revolusi pengharapan.

Pada bab lima, Fromm mengajukan strategi taktik menuju masyarakat tekhnologi yang semakin manusiawi. Sedangkan pada bab terakhir, ditawarkan sejumlah perubahan fundamental untuk menyelamatkan manusia dari modernisasi. Mungkinkah? Fromm optimis. Bahwa selalu ada harapan di dunia ini, sebuha harapan yang nyata—tidak utopis, bahwa perlawanan manusia terhadap kapitalisme akan melahirkan masyarakat tehnologi yang lebih manusiawi.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. kerani di www.kelanabuku.blogspot.com




Anomali Kelamin (Dimuat di KORAN PAK OLES Edisi 150, 16-30 April 2008)

Mengurai Selubung Kuasa dalam Kelamin
Oleh: Nurfa Rosanti


Judul : Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja seks dan Seks Bebas di Indonesia
Penulis : Hatib Abdul Kadir
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiii + 310 Halaman

Banyak kalangan yang menuding pelacuran, sex bebas dan prilaku sex menyimpang lainnya sebagai penyebab bobroknya moralitas bangsa. Akibat dari semua itu adalah terjadinya krisis multi dimensi berkepanjangan di negeri ini. Makanya jangan heran jika penertiban praktek-praktek prostitusi menjadi salah satu agenda penting pemerintah baik pusat maupun daerah akhir-akhir ini.

Tapi yang jadi pertanyaan, apakah dunia esek-esek akan berhenti total dengan tindakan represif oleh negara? Apakah setelah negeri ini bebas dari prilaku sex yang menyimpang, keadaan akan berubah damai dan sejahtera? Ataukah sebaliknya, gelombang sex justru semakin besar ketika bergerak di bawah tanah?

Tentu saja tak mudah untuk menjawabnya. Menurut Benedict Anderson dalam pengantar buku ini, seksualitas adalah hal yang sangat berliku-liku, ruwet dan kompleks. Hal ini dikarenakan seksualitas tak lagi netral. Keberadaannya, selalu berhadapan dengan tiga kekuatan yang maha besar, yakni; negara, agama dan kapitalisme (hal. xiv). Nah, buku yang ditulis Hatib Abdul Kadir ini mencoba mengurai kompleksitas seksualitas tersebut. Setidaknya ada tiga prilaku sex yang jadi bahasan utamanya, yakni telaah homoseks, pekerja seks, dan seks bebas.

Dipilihnya topik tersebut tentu saja tidak tanpa alasan. Harus diakui seksualitas menjadi perdebatan hangat belakangan ini di Indonesia. Betapa tidak, pasca reformasi buku-buku murahan dan sensasional tentang sex laku berat di pasaran, koran kuning bertebaran bak jamur di musim hujan, penelitian tentang sex juga tak kalah beraninya. Sebut saja, misalnya, Jakarta Under Cover karya Memoar Emka dan Sex in the Kost karya Iip Wijayanto.

Makanya tak heran jika studi tubuh dan seksualitas menyeruak secara cerdik ditengah-tengah maraknya berita politik, krisis ekonomi, hukum hingga kriminal (hal. 47). Namun dari berbagai kajian seksualitas, topik homoseks, pekerja seks, dan seks bebas kerap menjadi perdebatan panjang dalam media massa saat ini. Sehingga informasi yang tersedia cukup banyak dan mempermudah penggalian data secara mendalam.

Melalui buku ini, topeng-topeng kapitalisme yang menempel di area ’selangkangan’ dilepas dan sikap paradoksal negara terhadap prilaku seks menyimpang dibongkar. Dengan menggunakan analisa Michel Foucault mengenai seksualitas dan kuasa, terungkap, Misalnya, penertiban PSK jalanan dan pemaksaan melokalisasi PSK dengan alasan susila dan moralitas oleh pemerintah ternyata paradoks dengan keadaan di lapangan. Sebab tak jarang pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberadaan lokalisasi dengan berbagai alasan; ’demi meningkatkan pendapatan daerah’, ”membuka lapangan pekerjaan”, hingga sebagai ”stok” untuk ”menghibur” relasi bisnis atau pejabat yang doyan ”daun muda” (hal. 161).

Sementara itu, ditengah hiruk pikuk perdebatan mengenai seksualitas kapitalisme justru memancing di air keruh. Alih-alih mendukung kebijakan negara yang mendiskreditkan para pelaku seks menyimpang, kapitalisme justru membangun pasar. Ditengah tekanan negara terhadap kaum minoritas seksual, kapitalisme menciptakan produk-produk pronografi yang memiliki nilai jual seperti; majalah porno, agen hubungan homoseksual, biro jodoh termasuk juga seks toi (alat pemuas seks).

Sampai disini jelas bahwa upaya-upaya penertiban terhadap para PSK, razia majalah porno dan razia hotel-hotel mesum merupakan solusi yang boleh dikatakan buang-buang energi dan dana. Buktinya, ribuan kali dirazia, fenomena serupa selalu saja ada. Seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu. Satu-satunya solusi yang ditawarkan dalam buku ini adalah deregulasi negara yang melegalisasikan kesamaan hak terhadap homoseksualitas, pekerja seks dan pelaku seks bebas.

Solusi tersebut sekaligus menentang kalangan yang menuding maraknya perilaku seks yang menyimpang sebagai penyebab krisis multidimensi yang tak kunjung usai di negeri ini. Menurut Hatib Abdul Kadir tudingan tersebut tidak mendasar dan ahistoris. Jika benar krisis negara lebih disebabkan krisis moral keagamaan, mengapa tidak mendirikan semacam pesantren kilat secara massif dan sporadis saja? Dan setiap warga negara wajib masuk didalamnya. Namun, apakah hal tersebut menjamin, krisis akan selesai? Dan mengapa negara yang tak menganut perspektif moralitas agama layaknya Indonesia lebih mengalami keajuan peradaban, ekonomi dan religiusitas yang lebih bagus dan manusiawi dibanding Indonesia? (hal. 240)

Karenanya hadirnya buku ini berada di waktu yang tepat. Dalam nuansa demokratis saat ini penting kiranya memberikan suara lain mengenai seksualitas. Sebab memandang seksualitas dengan hitam putih justru tidak menyelesaikan masalah, melainkan justru menyimpan bom waktu berupa anomali sosial yang siap meledak kapan saja. Selamat membaca.


TENTANG PENULIS
Nurfa Rosanti adalah Santri di KIP (Komunitas Islam Pembebasan) Madura. Pengajar di SMP Darussyahid Sampang-Madura.

Kartini Sang Pemberontak

Kartini Sang Pemberontak
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Panggil Aku Kartini Saja
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan : Kedua, Juni 2006
Tebal : 304 Halaman


Buku Panggil Aku Kartini Saja ini merupakan salah satu dari sekian banyak karya Pram yang menggetarkan. Bagaimana tidak, tulisan Pram tentang Kartini bertolak belakang dengan pandangan umum selama ini. Di mata khalayak umum, kartini adalah anak Bupati Jepara. Seorang Pahlawan Nasional yang membuka jalan bagi emansipasi wanita. sedangkan karyanya yang terkenal adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan oleh Arjmin Pane.

Sedangkan pandangan Pram jauh melebihi kebanyakan orang. Kartini ditinjau dan dinilai dalam rangka sejarah Indonesia, maupun dunia luar. Tulisan-tulisannya ditafsirkan kembali sesuai dengan zamannya dimana kolonialisme mengalami puncak keagungannya dan feodalisme di pulau Jawa mempengaruhi segala bidang kehidupan.(Dr. Ny Hurustiati Subandrio, hal 8). Ini bisa dilihat dari bab awal buku ini yang mengambil ancang-ancang dari pasca perang Diponegoro, masa tanam paksa, dan masa politik etis.

Bukan itu saja. Sejarah di sekitar kartini ketika hidupnya disingkap sehingga tampak jelas melalui penggalian fakta sejarah mulai dari karya kartini sendiri, tulisan tentang kartini, bahan tentang semasa kartini dalam arti politik, social ekonomi sejarah, dan sastra serta lainnya.

Sehingga dalam buku setebal 304 halaman ini sosok Kartini lahir sebagai sosok ‘pemberontak’ sejati. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. (hal 67) dengan kata lain Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat. Tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan Kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan.

Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu yang asing jika kita membaca karya-karya Pram. Hampir semua karya Pram memosisikan diri sebagai pendobrak budaya feodal. Budaya yang menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik daripada yang sekarang. Tujuannya tak lain hanya untuk melanggengkan kastanya sendiri.

Dan mungkin karena itu pulalah, karya Pram di masa Orde baru merupakan sebuah karya yang paling di ‘benci.’ Karena secara tak langsung menohok tepat di jantung rezim orde baru yang sejatinya bernafas dan hidup dari pelestarian budaya feodalistik.

Meski begitu buku biografi Kartini ini pantas dibaca oleh ibu-ibu, remaja, guru, mahasiswa yang saat ini mulai melenceng jauh dalam menafsirkan kartini. Dimana Kartini identik dengan busana Jawa; Kebaya, kain panjang, dan gelung. Bahkan salah tafsir tersebut disebarkan melalui media cetak dan elektronik tanpa rasa bersalah. Seakan hendak mengaburkan realitas.

Buktinya, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hari besar kaum Perempuan seperti hari Kartini, Hari Ibu, diisi dengan kegiatan yang tak jelas manfaatnya. Lomba memasak, lomba merias wajah, hingga lomba kebaya ‘Kartini.’ Seakan-akan perjuangan Kartini untuk membuka jalan bagi emansipasi wanita berakhir sudah. Wanita Indonesia sudah bisa menikmati pendidikan sejajar dengan kaum pria.

Padahal saat ini perempuan Indonesia sekarang tengah mengalami kehancuran indentitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik, dan budayanya. Benar memang wanita saat ini sudah bisa menduduki posisi penting di pemerintahan atau perusahaan serta dapat mengambil keputusan sendiri.

Tetapi perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, hal 300).

Dengan kata lain, perjuangan Kartini belumlah usai. Kartini hanyalah orang pertama dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang mengadopsi aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertamakali muncul di Demak, Kudus dan Jepara. Kemudian diramu, dirumuskan, diperinci dan diperjuangkan untuk menjadi milik seluruh nation Indonesia (hal 14).

Semoga buku ini setidaknya mampu menjadi inspirasi bagi kita—khususnya kaum wanita—untuk merapatkan barisan dan melakukan perlawanan pada segala hal yang menindas. Karena sebenarnya itulah inti perjuangan Kartini. ***

TENTANG PERESENSI
Edy Firmansyah adalah Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/ Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FOKUS.

Minggu, 13 April 2008

Perpustakaan dan Perubahan Radikal John Wood


Perpustakaan dan Perubahan Radikal John Wood

Oleh: Edy Firmansyah


Judul : LEAVING MICROSOFT TO CHANGE THE WORLD: Kisah
Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia
Penulis : John Wood
Penerjemah : Widi Nugroho
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : x + 368 Halaman


Hal yang paling ditakuti manusia sebenarnya adalah perubahan radikal dalam hidup, demikian kata Soren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark. Mungkin itulah sebabnya manusia lebih suka mempertahankan ‘mati-matian’ keadaan status quo. Sebab dengan status quo mereka yang telah duduk dalam gelimang kemapanan, kuasa, kejayaan dan kekayaan akan tetap dapat menikmati semua itu bahkan sampai tujuh turunan.

Tapi berbeda dengan John Wood. Pernyataan Soren Kierkegaard diatas justru dianggap sebagai tantangan. Di tengah usia kerjanya yang mencapai sembilan tahun di Microsoft, ditengah karirnya sebagai direksi pemasaran perangkat lunak merangkak naik, ditengah berbagai kekayaan dan fasilitas dia dapat dengan mudah sebagai eksekutif muda di perusahaan besar yang prestisius itu, John Wood memilih mundur. Meninggalkan semua fasilitas dan kemewahan yang dia dapat dari keringatnya sendiri.

Apa yang membuatnya mengambil keputusan yang oleh banyak orang dianggap ’gila’ itu? Buku memoar berjudul Leaving Microsoft To Change The World; Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia ini memberikan jawabannya. Berawal dari menghabiskan liburan panjang dengan berjalan kaki selama 21 hari di Pegunungan Himalaya. John Wood bertemu dengan Pasupathi, laki-laki paruh baya asal Nepal yang berkerja sebagai pegawai negeri di dinas pendidikan Propinsi Lamjung, Nepal.

Dari Pasupathi itulah John Wood mengetahui bahwa angka buta huruf di Nepal mencapai 70 persen, merupakan angka yang tertinggi di dunia. Tapi kondisi tersebut bukan karena orang Nepal terkenal malas. Melainkan karena masyarakat dan pemerintah terlalu miskin untuk mengupayakan cukup sekolah, guru, dan buku-buku bagi penduduk yang jumlahnya bertambah dengan cepat (hal. 6).

Rasa kemanusiaan John Wood semakin menggelora ketika menyaksikan sendiri salah satu kondisi sekolah di Desa Bahundanda, ketika turut serta dalam kunjungan rutin Pasupathi. Dalam kunjungan itu Kepala sekolah menunjukkan perpustakaan sekolah. Memang sebuah tulisan di luar pintu dengan bangga terbaca PERPUSTAKAAN SEKOLAH, tetapi di dalam, ruangan itu kosong dan satu-satunya yang menutupi dinding adalah peta dunia yang usang. Tak satupun buku terlihat.

Memang ada beberapa buku yang sengaja disimpan agar anak-anak tidak merusak barang berharga itu. Ironisnya, buku yang disimpan tersebut adalah buku-buku vulgar yang dibuang para pelancong beransel yang tentunya tak layak dibaca (baik secara fisik maupun intelektual) oleh murid-murid belia itu. Misalnya saja, cerita roman Danielle Steel dengan sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berpelukan erat penuh gairah dan setelah telanjang di sampul mukanya, sebuah novel Umberto Eco berjudul Lonely Planet Guide to Mongolia yang ditulis dalam bahasa Italia.(hal. 13)

Berdasarkan fakta itulah kemudian John Wood melakukan perubahan radikal itu. Mendirikan sebuah proyek perpustakaan. Nama resminya Books for Nepal. Namun nama ini akhirnya diubah menjadi Room To Read. Kehidupannya pun berubah total, dari seorang eksekutif muda sebuah perusahaan prestisius menjadi laki-laki pengangguran yang mendirikan perpustakaan di Himalaya.

Dipilih proyek perpustakaan itu tentu saja tidak tanpa alasan. Sejak kecil John Wood adalah pembaca yang rakus. Sebagaimana diakui sendiri; “Ingatan saya yang paling awal dan paling terang adalah membaca. Menjelang tidur, saya selalu mendesak agar dibacakan berulang-ulang karya-karya Dr. Seuss: Go, Dog! Go!; Green Eggs and Ham; There’s a Wocket in my Pocket! Selama dalam perjalanan panjang dengan keluarga di dalam mobil. Bahkan kegilaan saya terhadap bacaan tak bisa diimbangi dengan anggaran orang tua yang sangat terbatas. kegemaran membaca, dan mengeksplorasi dunia baru begitu mendominasi kehidupan saya, karenanya saya tidak bisa membayangkan masa kecil saya tanpa buku,” (hal. 20-21).

Meski jalan yang dipilihnya bukan jalan yang mulus, Wood mampu mewujudkan impiannya. Proyeknya berkembang pesat. pelajaran penting yang didapat selama brada di Microsoft terus diterapkan, yakni berpikir besar. Organisasi amalnya tidak hanya membangun satu dua sekolah dengan perpustakaan lengkap. Tetapi—meniru Andrew Carnegie—John Wood mampu mendirikan sekitar 3600 perpustakaan di dunia ketiga. bermula dari Nepal, organisasi itu berkembang ke Negara Kamboja, Vietnam, hingga India.

Menariknya, dalam buku ini kita tak hanya disuguhi tentang kisah keberanian untuk berubah demi panggilan kemanusiaan, tetapi juga bagaimana cara mengelola bisnis mulai dari nol. Sungguh merupakan buku yang cukup memikat. Terlebih lagi, buku ini ditulis oleh seorang penggila buku. Sehingga membacanya seakan-akan kita sedang menyaksikan sendiri perjalanan hidup John Wood.

Karenanya hadirnya buku ini justru sangat tepat. Negeri ini memerlukan ratusan ‘John Wood’ untuk percepatan menuju perubahan. Bukan saja di bidang bisnis mandiri, tetapi juga dunia literal. Pasalnya, dunia literasi kita justru penuh dengan paradoks. Benar memang pemerintah telah gembar-gembor bahwa negeri ini bebas buta aksara, tapi nyata kondisi perpustakaan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia sangat memperihatinkan. Parahnya lagi, harga buku bacaan kian hari kian tak terjangkau. Padahal buku adalah jendela dunia. Lewat buku-buku imajinasi anak bangsa dikembangkan untuk kemajuan negerinya. Karenanya diperlukan ribuan perpustakaan gratis yang bisa diakses semua masyarakat. Masalahnya, siapa yang akan memulai?

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pencinta Buku. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura.

Sisi Lain Perempuan Arab (Dimuat di MEDIA INDONESIA, 12 April 2008)




Sisi Lain Perempuan Arab


Oleh: Edy Firmansyah

Judul : The Princess Sultana’s Daughters
Penulis : Jean P Sasson
Penerjemah : Milfana
Penerbit : RAMALA BOOKS (Ufuk Press Groups), Jakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xvi+386 Halaman

Membicarakan penindasan terhadap perempuan memang tak akan pernah usai. Berdasarkan riset, terungkap fakta bahwa setiap 6 jam terjadi kasus perkosaan seksual terhadap perempuan. Belum lagi kasus yang tidak pernah disadari orang sebagai kasus yakni pelecehan seksual, tampaknya sudah menjadi kegiatan spontanitas yang dilakukan dimana-mana. Daftar penindasan bisa bertambah panjang kalau kita memasukkan kasus perdagangan perempuan sebagai budak seks. Hal ini dikarenakan kentalnya sistem Patriakat yang dianut hampir semua negara di dunia, dimana perempuan tak lebih sebagai pelengkap, baik dalam kehidupan keluarga maupun negara.

Parahnya kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan nyaris di semua negara mengalami hal serupa. Termasuk di Arab Saudi. Benarkah? Sepintas tudingan bahwa Arab Saudi merupakan negeri yang turut serta dalam penindasan terhadap perempuan diragukan. Dalam tradisi Arab, seorang perempuan tidak diperkenankan membuka jilbab (baca:cadar) sejak menginjak masa puber. Nah, Jilbab itulah yang menjadi perisai bagi perempuan dari ’tangan jahil’ laki-laki.

Namun faktanya tidaklah demikian. Menurut Jean Sasson, penuli buku ini, dibalik jilbab yang serba ketat, perempuan Arab justru mengalami penderitaan akibat penindasan dari sistem Patriakat yang tak kalah pedihnya dengan penderitaan perempuan Indonesia yang cenderung pluralis.

Salah satunya nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah sementara atau lebih sebuah ’pernikahan untuk bersenang-senang,” yang biasa dipraktekkan oleh sebagian orang Arab. Pernikahan tersebut bisa terjalin selama satu jam atau bahkan mungkin sembilan puluh sembilan tahun, tergantung kesepakan kedua belah pihak. Jika kontrak selesai, secara otomatis pasangan akan bercerai tanpa formalitas perceraian. Kelompok Islam Suni yang mendominasi Arab saudi memandang pernikahan semacam ini tak lebih sebagai pelegalan prostitusi. Akan tetapi, tidak ada otoritas resmi yang dapat melarang seseorang yang akan melakukan nikah Mut’ah. Bahkan kelompok Syiah kerap mengutip beberapa ayat pendek dan dua atau tiga baris hadis untuk melegitimasi pernikahan ini (hal. 37-38).

Korbannya tentu saja perempuan-perempuan belia yang baru beranjak puber dari keluarga miskin dan tidak terpelajar. Demi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, kebanyakan masyarakat miskin rela menjual anak gadisnya untuk melakukan Nikah Mut’ah dengan orang-orang kaya. Termasuk juga diantaranya para pejabat dan keluarga dekat kerajaan Arab Saudi.

Selain nikah mut’ah satu hal lagi yang membuat hak kaum perempuan Arab dikebiri adalah dibentuknya badan sensor. Pemerintah Arab Saudi bahkan mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk membentuk badan sensor dalam jumlah yang sangat banyak. Dalam badan sensor itu semua pegawainya berjenis kelamin laki-laki. Mereka duduk di kantor-kantor pemerintahan, mengamati apa yang mereka pandang menjijikkan tentang perempuan dan seks di setiap publikasi yang masuk ke Arab Saudi. (hal. 79). Untuk mengonrol sikap dan prilaku kaum hawa, dibentuk juga ’polisi moral’ atau ’polisi agama’, kadang disebut mutawwa. Anggota adalah para laki-laki. Mereka melakukan tugas mengawasi gerak gerik kaum perempuan di seluruh Arab saudi. Polisi ini berpatroli di kota-kota mencari perempuan-perempuan yang tidak bercadar dan memukul mereka dengan tongkatnya atau menyemprotnya dengan tinta merah. Polisi ini juga memiliki hak untuk menahan perempuan yang dianggap melanggar etika moral dan kosopanan.

Pertanyaannya sekarang apakah dengan kontrol yang ketat terhadap kehidupan perempuan sebuah negeri akan hidup dengan damai? Nyatanya tidak. Melalui buku ini Jean P. Sasson hendak mengatakan—Mengutip Durkhaeim—ketika semua bentuk ekpsresi dan penyaluran emosi secara normal terkunci rapat yang lahir justru ketidaknormalan.

Ketika hubungan laki-laki dan perempuan yang belum menikah dilarang bertemu satu dengan lain oleh hukum agama yang terjadi adalah ketegangan seksual di antara sesama jenis menjadi sesuatu yang biasa. Ya, di arab Saudi hubungan homoseksual terus merajalela. Bahkan Putri Sultana, tokoh utama dalam buku ini, yang bernama Maha juga mengalami hal serupa.

Disamping itu, ketidaknormalan lain yang muncul akibat terlalu ketatnya kontrol terhadap kehidupan perempuan adalah lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras. Kelompok ini kerap menggunakan segala cara agar semua peraturan Islam bisa ditegakkan di muka bumi ini. Termasuk juga dengan jalan mencelakai manusia lain. Itu pula yang dialami Amani, putri kedua Sultana.

Sejatinya buku ini merupakan kelanjutan dari buku laris berjudul ”Princess: Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi.” Jika, buku pertama menggambarkan kehidupan masa kecil Putri Sultana, maka buku ini menggambarkan kisah kehidupan anak-anak perempuannya dan perempuan arab lain dalam nuansa ketatnya sistem Patriakat secara lebih personal. Buku ini adalah sebuah kisah nyata yang ditulis dengan cukup memikat dalam bentuk novel sehingga pembacanya dapat merasakan emosi dari masing-masing tokoh dalam buku ini.

Meski menggunakan sudut pandang wanita kerajaan Arab Saudi, setidaknya buku ini masih mampu mewakili betapa kejinya penindasan terhadap perempuan miskin yang dilakukan pemerintahan Arab Saudi. Sungguh buku yang layak dibaca, bukan hanya bagi mereka yang menganggap Arab, tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan Mekkah-nya merupakan negeri ’surga’ yang penuh kedamaian, melainkan bagi siapa saja yang peduli nasib perempuan.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/

Minggu, 23 Maret 2008

Quo Vadis Pendidikan Guru (Dimuat di Harian SEPUTAR INDONESIA, 19 Agustus 2007)

Quo Vadis Pendidikan Guru Indonesia
Oleh: Edy Firmansyah



Judul : Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool Sampai ke
IKIP: 1852-1998
Penulis : Mochtar Buchori
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : xiv, 206 Halaman

Idealnya guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Fokus utamanya adalah kebenaran, keadilan, spiritualitas dan cinta kasih dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya tanpa pandang bulu. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian subtansinya adalah pahlawan.


Nah, berdasarkan tatanan ideal itulah seringkali guru menjadi kambing hitam ketika anak-anak didiknya melakukan hal yang dinilai merugikan masyarakat. Ketika marak tawuran antar pelajar, prilaku sex bebas dikalangan siswa, kekerasan pada siswa dalam sekolah hingga kasus percobaan bunuh diri pada siswanya, gurulah yang langsung dituding gagal dan “tidak becus” dalam mengemban tugasnya mendidik generasi penerus bangsa
Ironisnya lagi, tudingan tersebut seringkali disertai pandangan bahwa guru-guru hasil pendidikan guru di masa lampau, terutama di masa Hindia Belanda, dirasakan lebih ‘kompeten’ dan lebih ‘profesional’ daripada guru-guru hasil pendidikan lembaga-lembaga pendidikan guru kita akhir-akhir ini. (hal. ix)


Benarkah demikian? Buku ini mencoba menelusuri evolusi pendidikan guru di Indonesia, khususnya perkembangan dalam cara berbagai lembaga pendidikan guru di masa lampau mempersiapkan mereka untuk menjadi “guru yang kompeten.” Focus utaama buku ini adalah perkembangan konsep “kompetensi mengajar” (teaching competence) dan bagaimana konsep tersebut diejawantahkan dalam program pendidikan dalam sekolah guru.


Setidaknya ada empat tahapan dalam evolusi sistem pendidikan guru di Indonesia yang dibahas dalam buku ini. Pertama, system segregatif. Yakni pendidikan guru zaman Hindia Belanda (Bab II). Kemudian sistem egaliter. Yakni periode pendidikan guru pada zaman pendudukan Jepang (Bab III). Berikutnya, rehabilitasi sistem. Yang membahas pendidikan guru pada era 1945-1949 (bab IV). Selanjutnya ekspansi sistem, yakni Pendidikan guru pada periode 1950-1965 (bab V). Yang terakhir adalah babak modernisasi, rasionalisasi dan ambivalensi yang mengupas pendidikan guru pada periode 1966-1998 (bab VI).


Dari tahapan tersebut diketahui bahwa Kweekscholl adalah sekolah guru pertama yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1852, sedangkan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) adalah lembaga pendidikan guru pertama pada jenjang perguruan tinggi yang didirikan pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1954. awalnya lembaga itu bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Pada tahun 1963 melalui keputusan Presiden nama PTPG diubah menjadi IKIP. Dan pada tahun 1998 mulai terjadi konversi dari 12 IKIP yang ada menjadi Uni versitas sepenuhnya (full fledged university) dengan nama “Universitas Pendidikan” (bandung) atau “Universitas Negeri” (Medan, Padang, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, malang, Makassar dan Menado) (hal. 2).


Apa yang bisa ditarik dari pembabakan tersebut? Melalui buku ini pembaca dicoba disadarkan—meminjam istilah Karl Marx—bahwa tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Begitu juga dengan sistem pendidikan guru. Dengan kata lain, kopetensi guru terkait erat dengan sosio-historis yang membayangi zamannya. Artinya, guru pada zaman Hindia Belanda belum tentu kompeten jika diminta mengajar siswa pada zaman mondial seperti saat ini.


Nah, apabila kita menginginkan lahirnya kembali profesionalisme yang realistik, maka kita harus memberi kesempatan kepada guru-guru kita untuk membangun kultur keguruan baru yang sesuai dengan kenyataan sosio-kultural yang ada sekarang dan yang akan muncul di masa depan.(hal.190)


Prilaku birokrat kita yang kerap menggunakan konsep ganti pemerintahan ganti sistem pendidikan jelas tak dapat dibenarkan. Sebab terbukti, pergentian system demi kepentingan politis tidak menyelesaikan masalah. Justru menimbulkan masalah baru dalam dunia pendidikan. Dan lagi-lagi guru yang menjadi korban.
Namun bicara mengenai profesionalisme guru tanpa diimbangi dengan upaya mensejahteraan kehidupan guru adalah munafik.. Penghargaan yang tinggi selalu berbanding lurus dengan profesionalitas. Dalam teori behaviorism disebutkan bahwa perbuatan yang mengenakkan atau positif akan cenderung diulang manakala mendapatkan reinforcement (penghargaan).


Lalu sistem yang seperti apa yang mampu meningkatkan profesionalisme guru di negeri ini? Sayang buku ini tidak membahas dengan cukup detail. Dan ini menjadi sedikit kelemahan dari buku ini. Meski demikian, secara keseluruhan buku ini telah mengenai sasarannya. Bahwa tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan itu sendiri. Dan guru yang masih menganggap bahwa cara mengajar yang diperolehnya saat mengenyam pendidikan sudah paten adalah guru yang sebenarnya sudah kalah sebelum bertanding. Sungguh sebuah ironi jika sikap tersebut dipertahankan.***

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Artikelnya tersebar di Media Lokal dan Nasional antara lain; JAWA POS/INDOPOS, KOMPAS, MEDIA INDONESIA, SURYA, BANJARMASIN POST, BATAM POS, SURABAYA PAGI, KORAN PAK OLES (KPO), RADAR SURABAYA, http://www.cybersastra.net/, http://www.pintunet.com/, http://www.sukainternet.com/, dll.

Sabtu, 22 Maret 2008

Hilangnya Pamor Agen Perubahan (Dimuat di KORAN PAK OLES Edisi 149, 15-30 Maret 2008)



Hilangnya Pamor Agen Perubahan


Oleh: Edy Firmansyah



Judul : Dari Demonstrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa di Era
Kapitalisme dan Hedonisme
Penulis : Nurani Soyomukti
Penerbit : Garasi, Yogyakarta (Ar-Ruzz Media Group)
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : 184 Halaman

Kaum muda (baca: Mahasiswa) selalu diperhitungkan keberadaannya oleh sejarah dimanapun. Sebab mahasiswa merupakan variabel penting yang berperan dalam segala proses perubahan. Ini terbukti ketika kita melihat beberapa babakan sejarah, gerakan kaum muda telah memainkan peranan penting menjadi barisan terdepan yang selalu meneriakkan tuntutan atas berbagai perubahan dan keadilan sosial. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat mulai dari berdirinya Budi Oetomo, ikrar sumpah pemuda 1928, hingga yang masih mengemuka saat ini adalah gerakan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru pada tahun 1998. Jadi, merupakan sebuah kewajaran seseorang kemudian bangga menjadi mahasiswa.

Namun yang terjadi saat ini justru kebalikan dari semua itu. Mahasiswa Indonesia tidak lagi bercitra sebagai kaum intelektual, pembela rakyat atau aktivis perubahan (agent of change). Yang ada justru mahasiswa yang berpikiran prakmatis-oportunistik. Dimana dalam benak mereka menjadi mahasiswa berarti sebuah jalan lempang mendapatkan pekerjaan. Titik. Sehingga ketika ditanya tentang bagaimana dengan nasib masyarakat yang terus didera penderitaan, mulai dari melambungnya harga kebutuhan pokok, pendidikan mahal, kesehatan mahal, hingga fenomena gizi buruk, pengangguran serta kemiskinan yang makin meluas? Jawabannya sungguh menyakitkan. “Persetan dengan mereka semua!”

Parahnya lagi, maraknya berita mengenai keterlibatan mahasiswa dengan narkoba, tawura antar mahasiswa, hingga prilaku sex bebas dikalangan mahasiswa menambah daftar panjang keterpurukan mahasiswa di negeri ini.
Adalah kekuatan kapitalis yang membuat mahasiswa kehilangan pamornya sebagai agen perubahan. Lewat kisah sinetron, opera sabun dan juga acara reality show, misalnya, mahasiswa digambarkan tak lebih sebagai kaum muda yang hanya sibuk mengejar urusan ’cinta’ dan pergaulan saling berburu pasangan dengan dramaturgi yang berlebihan. Dalam kisah sinetron, misalnya, kampus hanya menjadi aktivitas kisah ’cinta sempit’ yang bernama ’pacaran’ dengan warna gaya hidup yang menonjolkan syahwat.

Dengan lain kata, tugas dan peran berat mahasiswa dalam pusaran sejarah sebuah bangsa mulai dikaburkan dan kemudian digantikan dengan citra sebagai segelintir kaum muda yang eksklusif dengan hidup yang penuh suka ria. Sedangkan kampus tak lebih sebagai menara gading kekuasaan pasar (modal) dimana aktivitas mahasiswa hanya berkutat pada kuliah, makan, belanja, kencan dan Seks.

Karenanya sungguh sulit rasanya mencari misalnya; mahasiswa Antrologi yang memiliki cita-cita membuat field work di pedalaman Kalimantan atau Irian Barat. Atau seorang mahasiswa sosiologi yang bercita-cita menjadi organisator masyarakat lokal dalam upaya membendung arus induatrialisasi. Atau mahasiswa hukum yang memiliki ide-ide yang sarat rule of law.

Kondisi inilah yang menjadi bahasan utama Buku Nurani Soyomukti ini. Sarjana Sospol Universitas Jember ini menilai apa yang menerpa mahasiswa saat ini sebenarnya mengingkari sejarah. Pasalnya, sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah perubahan bagi terciptanya keadilan sosial (Hal.76).
Dengan mengggunakan analisa marxis, Soyomukti mengurai rantai kapitalisme yang membuat mahasiswa kehilangan elan vital dan predikatnya sebagai mahasiswa sejati. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan melakukan penindasan kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan, dan pengetahuan dijauhkan, siapapun akan menjadi rombongan mahkluk idiot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai, dan ditindas demi kepentingan segelitir elit (modal) yang memegang kekuasaan (hal. 24).

Nah, jika keadaan ini dibiarkan tentu akan menjadi preseden buruk bagi bangsa ini. Pasalnya, mahasiswa masih menjadi ujung tombak bagi masa depan, karena ditangan merekalah tongkat estafet bangsa ini disematkan.
Karenanya Soyomukti mengatakan penting untuk segera menancapkan pendidikan multikulturalisme sedini mungkin sebagai dasar pembuatan kebijakan dan cara memandang persoalan. Multikultralisme yang ditawarkan dalam buku ini adalah Multikulturalisme budaya dan ekonomi. Dalam budaya, ketika dihadapkan dengan berbagai macam etnik, agama dan aspek kutral masyarakat yang beragam, pendidikan mampu menciptakan manusia yang menghargai perbedaan. Sedangkan dalam multikuturalisme ekonomi, pendidikan juga harus mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan dan mengentaskan mereka menuju keadilan dan kesejahteraan.

*) Resensi ini Dimuat di KORAN PAK OLES, Edisi 15-30 Maret 2008


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta Artikelnya tersebar di Media Lokal dan Nasional antara lain; JAWA POS/INDOPOS, KOMPAS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), SINDO Edisi SORE, PONTIANAK POST, BANJARMASIN POST, BATAM POS, SURABAYA PAGI, KORAN PAK OLES (KPO), RADAR SURABAYA, RADAR MADURA, http://www.cybersastra.net/, http://www.pintunet.com/, http://www.sukainternet.com/, dll.

Wajah Buram Kemakmuran Cina



Wajah Buram Kemajuan Cina
Oleh: Edy Firmansyah




Judul : China Undercover; ”Rahasia” di Balik Kemajuan Cina
Penulis : Chen Guidi dan Wu Chuntao
Penerjemah : Lulu Rahman
Penerbit : UFUK PRESS, Jakarta
Cetakan : I, November 2007
Tebal : xxvi + 362 Halaman




Apa yang anda ketahui tentang Cina? Ketika pertanyaan tersebut diajukan maka jawaban yang paling umum adalah kisah kesuksesan. Negara di Asia yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia ini, dan tetap menjadikan Komunis sebagai ideologi negara, kini melesat menjadi salah satu negara dengan perekonomian yang maju dengan pesat.


Bahkan banyak kalangan yang meramalkan bahwa Cina akan menjadi kekuatan besar berikutnya hingga pada akhirnya Cina akan melampaui Amerika sebagai raksasa ekonomi dunia. Apa resepnya? Tonggak perubahan itu adalah reformasi agraria sejak 1978. Tanah yangsemula dikuasai secara kolektif dibagikan merata pada setiap keluarga. Petani menerima upah pada akhir tahun bukan berdasar keterlibatannya dalam kegiatan kolektif, melainkan menurut tingkat produktivitasnya. Mereka bebas menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan, bahkan bisa menguasai tanaman tambahan setelah memenuhi kuota bibit yang ditetapkan. Lebih lanjut, petani membayar pajak ketimbang menyerahkan kuota tertentu kepada kolektivitas. Dengan reformasi agraria ini, petani memiliki akses perorangan, memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan. Hal ini mendorong gairah bekerja, iklim kompetisi dan produktivitas.(Yudi Latif, Kompas 8/01/07).

Tapi buku yang ditulis pasangan suami istri Chen Guidi dan Wu Chuntao yang berjudul China Undercover; Rashasia dibalik Kemajuan Cina ini justru menepis penyataan diatas. Menurut Chen dan Wu kisah kebangkitan Cina yang kini tengah digembar-gemborkan banyak kalangan dan pakar ekonomi dunia justru dibangun dari berbagai penindasan terhadap petani.

Pada tahun 1993, misalnya, tulis Chen dan Wu, badan legislatif Cina bersumpah akan membatasi pajak-pajak menjadi lima persen dari pendapatan petani, tetapi dalam waktu satu tahun, berbagai pajak dan biaya justru menjerumuskna petani dalan utang. Sepuluh tahun sebelumnya, pemeritnah berjanji menyisihkan 18 persen anggarannya untuk layanan-layanan pedesaan. Tetapi kenyataannya, jumlahnya bakan tidak pernah mendekati angka tersebut; di tahun 2005 yang disisihkan hanya 9 persen. Sementara itu, pejabat birokrasi Cina, yang sebagian besar dari mereka bekerja di pedesaan, berkembang jumlahnya dari 2,2 juta di tahun 1979 menjadi lebih dari 10 juta pada saat ini. Perdana Menteri Wen tidak mengatakan bagaimana sekarang mereka akan dibiayai mengingat para petani tidak harus membayar pajak lagi. Tetapi kesimpulan logis yang bisa didapat siapapun, petanilah yang harus membayarnya.(John Pomfret, xxii).

Tapi anehnya, suara-suara perlawanan kaum tani justru tak terdengar oleh media (atau sengaja tidak diungkap?). Karenanya menurut penulis buku ini, China Undercover merupakan sebuah pengungkapan terhadap ketidaksamaan dan ketidakadilan yang mendera rakyat jelata, para petani, yang jumlahnya sekitar 900 juta jiwa. Buku ini menggambarkan lingkaran setan yang menjerat rakyat jelata, terutama para petani di Cina, dimana penerapan pajak yang tidak adil dan tindakan sewenang-wenang kadang-kadang menimbulkan kekejaman yang ekstrim terhadap mereka.

Meski begitu tidak semua masalah menjadi bahasan utama buku ini. Buku ini hanya memuat serangkaian masalah yang secara umum merujuk pada Triple-Agri (San-Nong): masalah pertanian, masalah wilayah pedesaan dan masalah petani. Semua masalah yang dibahas telah melewati penelitian dan investigasi yang mendalam. Meskipun demikian buku ini tidak kaku dan ’berat’ sebagaimana buku penelitian pada umumnya. Sebab buku ini dikemas dalam bentuk cerita sastra. Sehingga kisah yang disajikan dalam buku ini sungguh memikat. Maklum Chen dan Wu sebenarnya bukan orag asing dalam dunia tulis menulis. Keduanya adalah anggota dan penulis terkemuka dalam asosiasi sastra Hefei.

Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dari semua bagian itu hampir semuanya berkisah tentang penindasan yang dilakukan penguasa setempat terhadap petani. Seperti pada bagian pertama buku ini. Bab itu berkisah kisah sang martir bernama Ding Zioming, petani biasa yang berasal dari Desa Luying, Kecamatan Jiwangchang, Kabupaten Luxin, Propinsi Anhui. Dialah sang pemula. Orang pertama yang melakukan perlawanan dengan melaporkan beban pajak yang berlebihan yang dibebankan pada petani di wilayahnya. Dan Ding harus berhadapan dengan tangan besi kekuasaan. Dia dipukuli sampai tewas.

Membaca buku ini seakan-akan kita sedang membaca tentang negeri sendiri. Penindasan terhadap rakyat miskin dan petani yang dilakukan penguasa masih berlangsung hingga saat ini. Mulai dari perampasan lahan, penggususran dan melonjaknya harga kebutuhan pokok. Tapi bukan buku yang baik jika semua isinya hanyalah keritikan tanpa memberi solusi. Dan buku ini terhindar dari semua itu. Pada bagian akhir yang berjudul mencari jalan keluar Chen dan Wu memberikan sedikit solusi. Semua solusi merupakan hasil wawancara dari para pakar baik pakar ekonomi maupun sosiologi. Seakan-akan buku ini tak hendak bertindak jumawa. Sebab keputusan untuk merubah keadaan, berada di tangan pemerintah.

Sebuah buku yang mencerahkan. Sebab dengan hadirnya buku ini Cina tak lagi dipandang dengan hitam putih. Buku yang layak dibaca saya rasa. Tak hanya oleh mereka yang ingin mengetahui Cina dari berbagai sudut pandang. Tetapi bagi siapapun yang hendak melakukan perubahan.

*) Resensi ini dimuat di Majalah FOKUS, Tahun ke I Edisi V, 2007


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Artikelnya tersebar di Media Lokal dan Nasional antara lain; JAWA POS/INDOPOS, KOMPAS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), SINDO Edisi SORE, PONTIANAK POST, BANJARMASIN POST, BATAM POS, SURABAYA PAGI, KORAN PAK OLES (KPO), RADAR SURABAYA, http://www.cybersastra.net/, http://www.pintunet.com/, http://www.sukainternet.com/, dll.

Dicari: Intelektual Progresif!


Dicari; Intelektual Progresif!
Oleh: Nurfa Rosanti


Judul : Jadilah Intelektual Progresif!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : v + 133 Halaman



Tak salah kiranya jika Amin Rais menyindir sikap kaum intelektual akhir-akhir ini ibarat kancil pilek. Seekor kancil yang meskipun dalam hikayat dikenal dengan binatang yang pintar, tetapi bila sedang pilek, tidak mampu mencium bau busuk yang ada di sekitarnya. Betapa tidak, beratus-ratus pemuda ’istimewa’ yang berhasil terserap dalam dunia pendidikan bernama perguruan tinggi, beratus-ratus sarjana telah pula dilahirkan dari rahimnya.

Tapi ketika korupsi telah menjangkiti semua orang yang berada di tubuh birokrasi, ketika harga kebutuhan pokok mencekik rakayat miskin, serta biaya sekolah kian hari kian mahal, kaum intelektual itu hanya diam beribu bahasa. Parahnya lagi, tak sedikit diantara mereka yang turut larut dalam korupsi dan menjadi semakin elitis.

Padahal sejatinya seorang intelektual (baca; terpelajar, terdidik) tidak sepantasnya berdiam diri ketika terjadi kesewenang-wenangan. Seharusnya mereka mau dan bisa menggerakkan perlawanan. Dari tangan intelektual semacam itulah nantinya bakal lahir pahlawan-pahlawan yang cukup tangguh dari masyarakat untuk memerintah membimbing masyarakat. Dengan kata lain menurut Ali Syariati, tanggung jawab pokok seorang intelektual adalah mengetahui, memahami dan mengenal dengan baik kondisi masyarakat sekitarnya untuk kemudian menanamkan dalam alam pikiran publik semua konflik, peertentangan dan antagonisme yang ada dalam masyarakat.(Hal.09)

Nah, lewat buku ini Eko Prasetyo mencoba menyadarkan kembali peran dan tugas kaum intelektual yang paling mendasar, yakni menegakkan kembali ideal masyarakat yang selama ini hanya ada dalam kisah-kisah dongeng. Berbekal kepustakaan yang beragam, buku ini berusaha menampilkan kembali sosok intelektual-intelektual progresif beserta serpihan-serpihan pemikiran yang dihubungkan langsung dengan kondisi kekinian yang menimpa kita. Para intelektual itu adalah Che Guevara, Sayyid Qutb, Ali Syariati, Antonio Gramsci dan Rosa Luxemburg.
Dipilihnya tujuh intelektual progresif itu bukan tanpa alasan. Semua intelektual diatas merupakan sosok intelektual ideal. Yang tidak takut terhadap kematian, penderitaan, dan tidak ngiler ketika dihadapkan dengan kemasyuran demi memperjuangkan tiga tuntutan besar; keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan. Antonio Gramsci karena kegigihannya berjuang harus rela mati dipenjara; Sayyid Qutb dihukum gantung; Ali Syariati yang ditusuk pisau; Che Guevara yang meregang jawa oleh peluru pasukan Bolivia dan Rosa Luxemburg yang dipukuli kepalanya berulang-ulang oleh musuh dan akhirnya ditembak dengan keji (hal.17). Tapi semua penderitaan itu tidak selangkahpun menyurutkan niat mereka menyadarkan massa mengenai penindasan dan menggelorakan sebuah perlawanan.

Seakan-akan penulis buku ini hendak menunjukkan pada publik bahwa intelektual semacam inilah yang dibutuhkan negeri ini. Negeri yang diakuasai para koruptor, negeri yang kualitas pendidikan paling rendah, negeri terus menghamba pada negara lain, negeri para budak tentu membutuhkan intelektual-intelektual yang maju untuk menyadarkan masyarakat bahwa semua penderitaan itu akan berakhir jika segenap lapisan masyarakat bergandengan tangan melakukan perubahan.

Hadirnya buku ini sungguh tepat ditengah mandeknya kelahiran intelektual-intelektual progresif di negeri ini. Sekolah (baca: Perguruan Tinggi) yang sejatinya mampu menjadi rahim bagi para intelektual yang berpihak pada rakyat kini tak lebih dari seonggok meja. Usaha untuk mencangkokkan berbagai mata pelajaran berbelok hanya sebatas penumpukan informasi. Parahnya lagi, industri pendidikan diperlemah oleh dunia pasar yang yang menjadikan pengetahuan tak lebih dari barang konsumsi. Pasar dengan antusia menyambut sebua perubahan praktek kurikulum untuk dicocokkan dengan kebutuhan maupun modus prduksi yang sedang berjalan.
Akibatnya yang lahir bukan intelektual-intelektual yang gandrung akan perubahan. Melainkan intelektual-intelektual yang mati kesadaran kritisnya. Survei, Riset, penelitian dan penulisan yang jadi kegiatan intelektual hanya digunakan tak lebih untuk memerankan fungsi pemasaran dan menjilat-jilat kekuasaan. Hasil kerja intelektual yang demikian menurut Daniel Dhakidae tak lebih dari sekedar kerajinan tangan.

Padahal pada masa pra kemerdekaan negeri ini mencatat banyak kaum intelektual yang prorakyat yang lahir dari rahim dunia pendidikan. Sebut saja misalnya, Tan Malaka, Soekarno, KH. Agus Salim, Syahrir, Tirto Adhi Suryo, Mas Marco, dan banyak lagi. Mereka mendedikasikan pengetahuan yang mereka dapat dari bangku sekolah untuk kepentingan masyarakat, untuk menggagas kemandirian dan kemerdekaan sebuah bangsa meski penjara dan kematian dari pihak kolonial terus menjadi ancaman setiap jengkal langkah mereka.

Di tengah korupsi yang menjalari semua orang yang berada dalam tubuh birokrasi, di tengah melonjaknya angka kemiskinan dan pengangguran, di tengah kebohongan negara dan elitnya terhadap rakyat yang semakin menjadi-jadi, di tengah kelaparan dan gizi buruk yang menyerang, rakyat butuh sandaran yang kuat. Dan tentu saja bukan pada mereka yang menggunakan kepintaran untuk menghambakan diri pada pasar; membuat riset, angket dan poling untuk mendukung pembangunan mall dan mengiyakan penggusuran.

Melainkan intelektual yang bernyali serta mampu untuk mendekat dengan cita rasa keadilan, pengorbanan dan keberpihakan pada yang lemah. Dan buku ini merupakan sebuah pintu gerbang menuju itu semua.*

*) Resensi ini dimuat di Koran Pak Oles (KPO), Edisi 15-30 Januari 2008


TENTANG PENULIS
*) Nurfa Rosanti adalah Anggota Sanggar Bermain Kata. Pengajar di SMP Darussyahid Sampang Madura.