WAKTU

KOLEKSI BUKU

Jumat, 04 Juli 2008

Menafsirkan Lagi Sekularisasi Islam


Menafsirkan Lagi Sekularisasi Islam
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta & Bandung
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxviii + 112 Halaman

Ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000 yang mengkonstantir bahwa abad ke-21 merupakan era kebangkitan agama semakin menunjukkan kebenarannya. Booming buku dan film ”Ayat-Ayat Cinta,” maraknya penerbitan buku-buku Islam, meningkatnya semarak acara keagamaan di televisi, naiknya frekuensi kelas elite berhaji, hingga adanya artis-artis yang beralih menjadi juru dakwah, semakin mempertegas kebangkitan agama (baca: Islam) ditengah gelombang modernisasi.

Sedangkan kebangkitan Islam dalam ranah politik juga nampak dengan maraknya pembentukan partai politik yang berideologi Islam. Tak hanya itu, pusat-pusat kekuasaan dan gedung parlemen juga tengah memperlihatkan representasi santri yang mencolok. Meski demikian, menurut Idi Subandi Ibrahim dalam penganta buku ini, tak akan pernah terjadi islamisasi total (seperti yang digaungkan fundamentalisme religius radikal) atau sekularisasi total (seperti yang diteriakkan oleh ”sekularisme ultra-nasionalis radikal) (hal. xvi)

Pasalnya, respon muslim terhadap modernisasi dan sekularisasi tidaklah homogen, melainkan heterogen. Sebagian muslim lebih bersikap akomodatif terhadap pemikiran sekuler demi modernisasi komunitas Islam. Sementara sebagian yang lain lebih terobsesi pada ide modernsiasi yang berorientasi Islam. Tapi keduanya bermuara pada satu tujuan, yakni berusaha merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia sekular (hal.77)

Itulah inti dari buku berjudul Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia yang ditulis Yudi Latif. Buku ini merupakan terjemahan dari tesis Yudi Latif ketika meraih gelar master di Australian National University (ANU) (1999). Buku ini lahir dari pertanyaan mendasar; apakah proses modernisasi dan sekularisasi secara tak terhindarkan menagrah pada kemunduran agama tanpa memerdulikan karakter khusus dar isuatu agama dan kekhasan sosio-historis suatu masyarakat? Atau apakah mungkin suatu proses sekularisasi bisa berjalan simultan dengan proses islamisasi? Yudi Latif justru memilih yang terakhir. Dengan kata lain, lewat buku ini Yudi Latif hendak memberikan jalan damai bagi perang wacana antara Islam dan sekularisasi yang semakin menghebat.

Untuk menopang analisisnya, ia mengawali dengan memeriksa pembumian teori modernisasi dan sekularisasi, kemudian menggunakan Islam dan perkembangan politik di Indoensia sebagai contoh kasus. Dari situ dapat dilihat ketegangan dialektis proses islamisasi dan sekularisasi dalam masyarakat dan struktur politik. Dia lantas menghampiri perkembangan Islam dan politik di Indonesia sebagai ialog intertektual anara logika sekularisasi, ide internal islam dan kekahasan sosio-historis Indonesia (Idy Subandi Ibrahim dalam Latif, hal.xvi)

Hasilnya, sebuah kesimpulan yang teori umum modernisasi, bahwa ketika modernisasi meningkat, kepercayaan dan ketaatan keagamaan menurun. Pandangan-pandangan seperti Marx yang menganggap agama sebagai candu atau Freud yang menuding prilaku keagamaan sebagai bentuk neorosis masyarakat mendapat bantahannya dalam buku ini. Saat-saat ini agama tidak lagi menjadi sebuah eskapisme, melainkan sebuah jalan membangun kesadaran baru akan kesejahteraan. Buktinya, proyek modenisasi di Indonesia justru melahirkan kesadaran keagamaan baru dikalangan segmen yang luas.

Kondisi tersebut jelas merupakan optimisme akan masa depan Islam Indonesia yang lebih toleran dan terbuka. Yang mampu mengakomodasi nilai-nilsi demokrasi seperti kebebasan, partisipasi, kesejahteraan, keadilan dan pluralisme dalam ajaran Islam yang menjadi prasyarat penting pertumbuhan masyarakat sipil di Indonesia.

Hanya saja dialektika Islam yang dibangun penulis buku ini masih melangit. Artinya, belum menyentuh realitas kehidupan masyarakat secara materialistis. Benar memang, terbangun sebuah dialektika kesadaran masyarakat untuk kembali memasuki dunia spiritual ditengah gempuran modernisme. Namun, mata rantai Islam sebagai agama pembebasan yang bergerak demi advokasi terhadap kaum papa justru tak tersentuh.

Padahal penggusuran, penindasan, dan pengebirian atas nama agama (Islam) masih menjadi santapan sehari-hari kaum miskin. Parahnya, para pemikir keagamaan, ulama dan kiai seakan alpa manakala penertiban gubuk liar, penggusuran pasar menjadi fenomena keseharian masyarakat.

Terlepas dari semua itu setidaknya hadirnya buku ini bisa memberikan pengayaan terhadap keberagamaan kita ditengah derasnya modernisasi di segala lini. Dengan kata lain agama sebenarnya belum sepenuhnya tunduk pada modernisme. Malah sebaliknya—meminjam pernyataan Andre Maltraux, filosof dan negarawan Prancis—inilah abad kebangkitan agama.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: