WAKTU

KOLEKSI BUKU

Jumat, 04 Juli 2008

Terbebas Dari "Penjara" Sekolah


Terbebas dari ”Penjara” Sekolah
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Dunia Tanpa Sekolah
Penulis : M. Izza Ahsin
Penerbit : Read! Publishing House (Kelompok Mizan), Bandung
Cetakan : I, 2007
Tebal : 252 Halaman

Kita boleh saja tak percaya kalau buku ini ditulis seorang anak berusia 15 tahun. Tulisan dalam buku ini begitu jernih dan runut. Membaca buku ini seperti mengalami sendiri cerita didalamnya. Seakan-akan buku ini adalah tulisan seorang pengarang ’profesional’ yang telah lama malang melintang di dunia tulis menulis. Disamping itu, tema yang diambil cukup berat untuk ukuran anak-anak; Pendidikan (baca: sekolah). Tapi benar, Izza, penulis cilik itu, berhasil menyuguhkan tema yang berat itu dalam sebuah buku yang mengesankan. Pantas jika Hernowo dan Jazimah Al-Muhyi—keduanya penulis buku-buku best seller—memuji buku ini.

Apa yang ditulis Izza tentang sekolah? Di mata Izza sekolah bukanlah sebuah lembaga suci yang wajib dimasuki semua anak-anak. Bahkan saking ’suci’nya orang tua rela menggadaikan barang tiap menjelang tahun ajaran baru hanya agar anaknya bisa merasakan bangku sekolah. Sekolah menurut penulis buku ini justru tak jauh beda dengan penjara. Ia hadir untuk membelenggu kebebasan berpikir dan berimajinasi.

Sistem Kebut Semalam (SKS) yang dilakukan siswa setiap menjelang ujian, telah membeberkan kelemahan pendidikan formal kita. Ya, dengan jadwal ujian yang sudah bikin pusing, serta kegiatan pelajaran tambahan di sore hari, murid tidak akan mampu mencapai level merenung. Jangankan merenung, bepikirpun tidak. Yang terjadi kemudian, ujian kerap diwarnai dengan berbagai macam kecurangan. Bahkan mungkin, kecurangan itu akan berlanjut hingga dewasa ketika kebetulan mereka menjadi pejabat, baik kelas tinggi maupun kelas rendah. Korupsi, Kolusi dan nepotisme. Ketiga telah menjadi tren dan memungkinkan negara ini mencapai ’prestasi’ tinggi sebagai negara terkorup nomor tiga di dunia!(Hal.95). Karenanya jalan satu-satunya agar mampu mengembangkan imajinasi dan kebebasan berpikir secara optimal adalah keluar dari sekolah.

Dalam buku ini Izza menceritakan bagaimana pahit getir perjuangannya mewujudkan keinginannya itu; hengkang dari sekolah dan total mengembangkan bakat menulisnya yang sarat dengan imajinasi dan kebebasan berpikir secara optimal. Sebab di mata penulis belia ini tak mungkin seseorang mampu menjadi profesional jika diharuskan menguasai segala disiplin ilmu seperti; Matematika, fisika, biologi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPS (yang terdiri dari pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi), olah raga, kesenian dan sebagainya dalam satu waktu yang bersamaan.

Kalau anda pernah membaca karya Tetsuko Kuroyanagi berjudul Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela atau A Child Called It karya Dave Pelzer, maka buku yang ditulis Izza memiliki gaya bertutur yang mirip dengan buku-buku tersebut. Bedanya jika Kuroyanagi dan Pelzer menulis pengalaman masa kanak-kanaknya ketika dewasa, Izza justru sebaliknya. Ia menulis perjalanan hidupnya saat masih belia.

Memang keinginan tersebut tidak berjalan mulus. Adalah kedua orang tuanya yang justru menjadi penetang paling sengit atas keputusan ’gila’ itu. Dan semenjak Izza melontarkan keputusan ’gila’nya itu hari-harinya seakan seperti neraka. Pertengkaran dengan orang tua kerap terjadi. Bahkan untuk melampiaskan emosinya sang ayah tak segan-segan membanting barang-barang yang ada di rumah. Tapi Izza tetap bergeming dengan keinginannya. Bahkan tawaran win-win solution dari kedua orang tuanya ditepisnya. Orang tua Izza yang notabene adalah pendidik mengharap Izza mampu mengembangkan bakat menulis, tetapi tak harus putus sekolah.

Apa jawaban Izza atas saran itu? Memaksa diri menjalani dua kegiatan (sekolah dan menulis) dijalani bersamaan hal itu tak jauh beda dengan pelari yang menggunakan sebelah kakinya. Sangat tidak efektif. Padahal seorang Psikolog kelas dunia pernah mengatakan bahwa pelajaran di sekolah pada pendidikan dasar sekarang ini hanya mengotori otak karena melupakan hal-hal yang esensial seperti character building atau pelejitan actus para siswa.(hal. 35). ”Meninggalkan sekolah bukan berarti meninggalkan Allah! Bukan berarti menjadi kafir atau berpaling dari agama,” itulah salah satu komentar Izza ketika beradu mulut dengan orang tuanya.

Pengalaman pribadi Izza ini mirip sekali dengan buku-buku yang menghujat sekolah semisal, school is dead-nya (sekolah telah mati) Everett Riemer, ”Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah,” karya Ivan Illich yang termasyur, serta ”Sekolah itu Candu’-nya Roem Topatimasang. Maklum Izza adalah pembaca buku yang rakus terutama buku-buku pendidikan.

Akhirnya setelah mengalami perseteruan panjang, orang tuanya pun luluh. Izza diberi kebebasan memilih jalan hidupnya sendiri. Dan buku yang berada di tangan pembaca ini adalah karya pertama Izza yang dipublikasikan secara luas setelah ia drop out.

Memang kritik Izza terhadap dunia pendidikan tak akan banyak berpengaruh. Seperti kata pepatah; anjing menggonggong, khafilah berlalu. Sekolah masih saja dibanjiri para pendafatar tiap tahun ajaran baru. Bahkan orang tua siswa harus rela menggadaikan barang hanya agar anaknya bisa menrasakan ’nikmatnya’ bangku sekolah.

Meski demikian hadirnya buku ini jelas menjadi tamparan telak terhadap dunia pendidikan kita yang semakin coreng-moreng. Ditengah dunia akademik—yang notabene menjadi garda depan dunia-menulis—dicemari oleh prilaku plagiasi, ghost writers, jual beli skripsi, tesis dan desertasi akibat kemalasan literasi, kita justru disuguhi kisah hidup penulis cilik yang anti sekolah. Selamat membaca.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Penikmat Buku. Redaktur Majalah FOKUS. Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/.

Menafsirkan Lagi Sekularisasi Islam


Menafsirkan Lagi Sekularisasi Islam
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta & Bandung
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxviii + 112 Halaman

Ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000 yang mengkonstantir bahwa abad ke-21 merupakan era kebangkitan agama semakin menunjukkan kebenarannya. Booming buku dan film ”Ayat-Ayat Cinta,” maraknya penerbitan buku-buku Islam, meningkatnya semarak acara keagamaan di televisi, naiknya frekuensi kelas elite berhaji, hingga adanya artis-artis yang beralih menjadi juru dakwah, semakin mempertegas kebangkitan agama (baca: Islam) ditengah gelombang modernisasi.

Sedangkan kebangkitan Islam dalam ranah politik juga nampak dengan maraknya pembentukan partai politik yang berideologi Islam. Tak hanya itu, pusat-pusat kekuasaan dan gedung parlemen juga tengah memperlihatkan representasi santri yang mencolok. Meski demikian, menurut Idi Subandi Ibrahim dalam penganta buku ini, tak akan pernah terjadi islamisasi total (seperti yang digaungkan fundamentalisme religius radikal) atau sekularisasi total (seperti yang diteriakkan oleh ”sekularisme ultra-nasionalis radikal) (hal. xvi)

Pasalnya, respon muslim terhadap modernisasi dan sekularisasi tidaklah homogen, melainkan heterogen. Sebagian muslim lebih bersikap akomodatif terhadap pemikiran sekuler demi modernisasi komunitas Islam. Sementara sebagian yang lain lebih terobsesi pada ide modernsiasi yang berorientasi Islam. Tapi keduanya bermuara pada satu tujuan, yakni berusaha merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia sekular (hal.77)

Itulah inti dari buku berjudul Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia yang ditulis Yudi Latif. Buku ini merupakan terjemahan dari tesis Yudi Latif ketika meraih gelar master di Australian National University (ANU) (1999). Buku ini lahir dari pertanyaan mendasar; apakah proses modernisasi dan sekularisasi secara tak terhindarkan menagrah pada kemunduran agama tanpa memerdulikan karakter khusus dar isuatu agama dan kekhasan sosio-historis suatu masyarakat? Atau apakah mungkin suatu proses sekularisasi bisa berjalan simultan dengan proses islamisasi? Yudi Latif justru memilih yang terakhir. Dengan kata lain, lewat buku ini Yudi Latif hendak memberikan jalan damai bagi perang wacana antara Islam dan sekularisasi yang semakin menghebat.

Untuk menopang analisisnya, ia mengawali dengan memeriksa pembumian teori modernisasi dan sekularisasi, kemudian menggunakan Islam dan perkembangan politik di Indoensia sebagai contoh kasus. Dari situ dapat dilihat ketegangan dialektis proses islamisasi dan sekularisasi dalam masyarakat dan struktur politik. Dia lantas menghampiri perkembangan Islam dan politik di Indonesia sebagai ialog intertektual anara logika sekularisasi, ide internal islam dan kekahasan sosio-historis Indonesia (Idy Subandi Ibrahim dalam Latif, hal.xvi)

Hasilnya, sebuah kesimpulan yang teori umum modernisasi, bahwa ketika modernisasi meningkat, kepercayaan dan ketaatan keagamaan menurun. Pandangan-pandangan seperti Marx yang menganggap agama sebagai candu atau Freud yang menuding prilaku keagamaan sebagai bentuk neorosis masyarakat mendapat bantahannya dalam buku ini. Saat-saat ini agama tidak lagi menjadi sebuah eskapisme, melainkan sebuah jalan membangun kesadaran baru akan kesejahteraan. Buktinya, proyek modenisasi di Indonesia justru melahirkan kesadaran keagamaan baru dikalangan segmen yang luas.

Kondisi tersebut jelas merupakan optimisme akan masa depan Islam Indonesia yang lebih toleran dan terbuka. Yang mampu mengakomodasi nilai-nilsi demokrasi seperti kebebasan, partisipasi, kesejahteraan, keadilan dan pluralisme dalam ajaran Islam yang menjadi prasyarat penting pertumbuhan masyarakat sipil di Indonesia.

Hanya saja dialektika Islam yang dibangun penulis buku ini masih melangit. Artinya, belum menyentuh realitas kehidupan masyarakat secara materialistis. Benar memang, terbangun sebuah dialektika kesadaran masyarakat untuk kembali memasuki dunia spiritual ditengah gempuran modernisme. Namun, mata rantai Islam sebagai agama pembebasan yang bergerak demi advokasi terhadap kaum papa justru tak tersentuh.

Padahal penggusuran, penindasan, dan pengebirian atas nama agama (Islam) masih menjadi santapan sehari-hari kaum miskin. Parahnya, para pemikir keagamaan, ulama dan kiai seakan alpa manakala penertiban gubuk liar, penggusuran pasar menjadi fenomena keseharian masyarakat.

Terlepas dari semua itu setidaknya hadirnya buku ini bisa memberikan pengayaan terhadap keberagamaan kita ditengah derasnya modernisasi di segala lini. Dengan kata lain agama sebenarnya belum sepenuhnya tunduk pada modernisme. Malah sebaliknya—meminjam pernyataan Andre Maltraux, filosof dan negarawan Prancis—inilah abad kebangkitan agama.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.