WAKTU

KOLEKSI BUKU

Senin, 21 April 2008

Mencari Jalan Lain Melawan Neoliberalisme (Dimuat di Harian SINDO, 20 April 2008)


Mencari Jalan Lain Melawan Neoliberalisme
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan
Penulis : Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xiv + 300 Halaman

Fenomena makin melonjaknya harga kebutuhan pokok dan Bahan Bakar Minyak (BBM) ternyata bukan monopoli Indonesia. Negara-negara berkembang lainnya tengah mengalami krisis serupa. Buktinya antrean masyarakat untuk mendapatkan bahan bakar hingga demo menentang kenaikan harga kebutuhan pokok juga terjadi di Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Ethiopia, Madagaskar, Filipinan, dan beberapa negara lainnya.

Bahkan PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia tengah terancam dan berpotensi besar terjadi Perang Dunia III (PD III) akibat kecenderungan kenaikan harga-harga bahan makanan yang sudah terjadi di banyak negara. Menurut Direktur Jenderal Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) Jacques Diout, gejala itu sudah terlihat dengan jatuhnya korban dalam aksi massa yang memprotes kenaikan harga makanan. Di Haiti misalnya, lima orang tewas dalam aksi unjuk rasa memprotes kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang berujung dengan bentrokan.

Pertanyaannya apa yang menyebabkan krisis tersebut terjadi? Menurut Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, penulis buku ini, semua itu disebabkan karena kebijakan pembangunan ekonomi neoliberal.

Memang sejak dekade 1980-an hampir semua negara berkembang menggeser kebijakan-kebijakan ekonomi mereka ke arah neoliberal dan memberikan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar. Mereka melakukan restrukturisasi peran negara dalam perekonomian untuk meliberalisasi perdagangan domestik, regulasi investasi dan menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara.

Selain pembukaan pasar sebebas-bebasnya, prinsip neoliberalisme lainnya adalah memotong anggaran untuk pelayanan sosial. Misalnya, penabutan subsidi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik (Jalan raya, pembangunan jembatan, bendungan dan sebagainya). Semua anggaran digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan profit. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara maksimal, sehingga mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang menghadang negara-negara dunia ketiga. Seperti kemiskinan, pengangguran, gizi buruk dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk dan sebagainya.

Namun nyatanya, setelah hampir setengah abad sistem pasar ini berjalan, hasilnya justru menyakitkan. Neoliberal membawa masalah baru dan justru memperburuk masalah yang telah ada sebelumnya, seperti meningkatnya kerentanan dunia perbankan, meluasnya krisis finansial, serta semakin lebarnya jurang kemiskinan. Dan parahnya itu terjadi hampir di semua negara yang kini tengah menganut sistem pembangunan berbasis pasar itu.

Karena itu Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku ini menyuguhkan altenatif-alternatif pembangunan yang memungkinkan untuk diterapkan di negara-negara berkembang disesuaikan dengan kondisi suatu negara; seperti sumber daya alam, kelangkaan mata uang asing, kedekatan dengan pasar utama, kondisi sosial politik dan sebagainya. Sebab memasrahkan semua persoalan persoalan ekonomi pada neoliberal adalah kesalahan fatal dan berbahaya (hal. xi)

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yang terdiri dari enam bab mengurai mitos-mitos pembangunan neoliberal yang kerap menjadi pembenar kesuksesan neoliberal di negara maju. Padahal faktanya kebijakan berbasis pasar itu justru menimbulkan malapetaka bagi negara berkembang seperempad abad terakhir ini.

Misalnya saja mitos bahwa negara kaya mencapai kemakmuran berkat komitmen terhadap pasar bebas. Padahal faktanya negara Inggris dan Amerika ketika awal-awal membangun negara justru menerapkan proteksi yang sangat ketat. Bahkan mitos bahwa globalisasi neoliberal tidak dapat dan tidak akan berhenti juga diblejeti oleh Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel dalam buku ini. Dengan tegas penulis buku ini—mengikuti falsafah Marx—bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan menentang mitos Francis Fukiyama itu.

Pada bagian kedua buku ini menawarkan alternatif sebagai konter bagi neoliberalisme. Setidaknya ada lima alternatif yang disuguhkan dalam buku setebal 230 halaman ini. Sayang buku ini kurang tegas memberikan alternatif kebijakan pembangunan. Benar kita diberi pilihan alternatif tetapi kita tidak disuguhi kendala dan hambatan apa ketika menempuh jalur alternatif itu sehingga ibaratnya kita seperti berjudi dengan sistem ekonomi.

Meski demikian dalam memberikan alternatif, buku ini tidak terkesan menghakimi. Misalnya ketika mencoba memberi alternatif terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) ala neoliberal, penulis buku ini menawarkan dua cara; memanfaatkan ruang dalam sistem HAKI atau menetang sistem itu. Sebab hanya sedikit manfaat ekonomis berkaitan dengan meningkatkan perlindungan HaKI di negara-negara berkembang. Dengan kata lain yang diuntungkan dari HaKI hanyalah para pemilik modal sebagai jalan lempang mempercepat lakunya produksi massal di bidang kesenian dan intelektual berbasis pasar.

Tawaran semacam itu diberikan menurut penulis buku ini karena kelayakan setiap kebijakan tertentu tergantung pada kondisi suatu negara; seperti sumber daya alam, kelangkaan mata uang asing, kedekatan dengan pasar utama, kondisi sosial politik dan sebagainya.

Namun yang paling mendasar menurut saya adalah keberanian para pemimpin negara untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada negara lain. Tanpa keberanian bersikap yang demikian alternatif pembangunan model apapun pasti akan mengalami jalan buntu.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Unversitas Jember. Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/

Kamis, 17 April 2008

Humanisme Radikalistik (Dimuat di KORAN PAK OLES (KPO) Edisi 150, 16-30 April 2008)

Menuju Humanisme Radikalistik
Oleh : Edy Firmansyah*)

Judul : Revolusi Pengharapan: Menuju Masyarakat Teknologi
yang semakin Manusiawi
Penulis : Erich Fromm
Penerbit : Pelangi Cendekia, Jakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxv + 223 Halaman


Ada bahaya laten yang tengah membayangi kehidupan manusia. Bahaya itu bukanlah komunisme, bukan pula fasisme, melainkan “masyarakat yang telah sepenuhnya menjadi mesin” (a completely mechanized society) yang mendewakan produksi material dan konsumsi maksimal dibawah pimpinan Komputer. Masyarakat yang demikian pelan tapi pasti dibunuh daya hidupnya dalam kepasifan total akibat kecanduan konsumsi, sehingga menjadi manusia yang nyaris mati rasa.

Itulah warning Eric Fromm dalam bukunya Revolusi Pengharapan: Menuju Masyarakat Teknologi yang semakin Manusiawi. Ketika manusia sudah semakin mekanis, yang tertinggal hanyalah nafsu menguasai. Untuk mewujudkan ambisi tersebut, kekerasan kerap dijadikan pilihan. Makanya, jangan heran jika dalam a completely mechanized society kerusakan lingkungan akibat eksploitasi rakus manusia dan konflik antar golongan selalu menjadi masalah yang sulit dipecahkan.

Memang jalan satu-satunya untuk mengakhiri semua itu adalah perubahan. Namun Fromm mengingatkan agar pilihan perubahan tak jatuh pada revolusi radikal (baca: kekerasan). Sebab dengan revolusi tersebut keadaan justru akan bertambah runyam, karena seluruh sistem akan runtuh, dan yang tampil adalah kediktatoran militer atau fasisme. (hal. xiv). Itu artinya penderitaan rakyat semakin panjang karena kehilangan kedaulatan.

Dalam buku ini Erich Fromm menawarkan revolusi humanisme radikal sebagai solusi. Revolusi ini harus melibatkan banyak ideologi yang berbeda dan kelompok sosial. Setidaknya ada tiga tingkatan yang menjadi sasaran perubahan. Pertama, perubahan pola produksi dan konsumsi. Kedua, transformasi manusia, warga negara dan partisipan dalam proses sosial dari obyek-pasif yang secara birokratis termanipulasi menjadi pribadi yangaktif, kritis dan bertanggung jawab. Dan terakhir adalah rebolusi kultural, dimana menghancurkan keterasingan dan kepasifan yang menjadi ciri masyarakat teknologi, yakni dengan menggali potensi cinta dan akal budi sehingga mampu mengatasi fiksasi infantilis.(hal. 196).

Buku ini diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris The Revolution of Hope – Toward a Humanized Technology, merupakan keprihatinan Fromm pada kondisi masyarakat industri modern di Amerika Serikat pada tahun 1968 yang makin tenggelam dalam reifikasi akibat dirasuki kapitalisme. Meski demikian analisa Fromm masih menunjukkan relevansinya, terutama di belahan dunia ketiga dimana dalam banyak hal kondisinya serupa dengan Amerika Serikat pada saat itu.

Kapitalisme yang menjadi sasaran tembak Fromm bukanlah kapitalisme Laisez faire seperti yang disyahadatkan Adam Smith mengenai persaingan bebas. Lebih daripada itu, kapitalisme disini, adalah tahapan lanjut Revolusi Industri, yakni revolusi Industri tahap II. Dimana bukan hanya energi hidup (hewan dan manusia) yang digantikan oleh energi mekanis, tetapi lebih dari itu otak manusia digusur oleh hadirnya otak-otak mesin.

Perkembangan selanjutnya, menurut Daniel Bell adalah proses produksi yang diarahkan pada pembuatan barang-barang yangdiselaraskan dengan hasrat pelepasan dan pemuasan diri tanpa kendali. Artinya semua keinginan manusia dipaksa tunduk pada kaidah pasar. Dalam pasar manusia dipaksa menjadi budak nafsu untuk memiliki apa saja dengan semakin menggila (baca; hedonisme).

Buku ini dibagi dalam enam bab. Bab pertama berbicara tentang masyarakat dalam belenggu industri, konsumerisme dan hedonisme. Bab kedua, bicara mengenai jebakan-jebakan kapitalisme dengan memanipulasi pengharapan manusia. Bab ketiga, Fromm meramalkan munculnya sebuah peradaban baru dengan memanusiakan kaum borjuasi menjadi borjuasi baru yang lebih manusiawi. Bab empat, Fromm bicara tentang hakekat kemanusiaan termasuk juga nilai-nilai dan norma manusia. Dalam bab ini digali secara detail tentang potensi manusia untuk tercapainya sebuah perubahan atau Revolusi pengharapan.

Pada bab lima, Fromm mengajukan strategi taktik menuju masyarakat tekhnologi yang semakin manusiawi. Sedangkan pada bab terakhir, ditawarkan sejumlah perubahan fundamental untuk menyelamatkan manusia dari modernisasi. Mungkinkah? Fromm optimis. Bahwa selalu ada harapan di dunia ini, sebuha harapan yang nyata—tidak utopis, bahwa perlawanan manusia terhadap kapitalisme akan melahirkan masyarakat tehnologi yang lebih manusiawi.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. kerani di www.kelanabuku.blogspot.com




Anomali Kelamin (Dimuat di KORAN PAK OLES Edisi 150, 16-30 April 2008)

Mengurai Selubung Kuasa dalam Kelamin
Oleh: Nurfa Rosanti


Judul : Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja seks dan Seks Bebas di Indonesia
Penulis : Hatib Abdul Kadir
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiii + 310 Halaman

Banyak kalangan yang menuding pelacuran, sex bebas dan prilaku sex menyimpang lainnya sebagai penyebab bobroknya moralitas bangsa. Akibat dari semua itu adalah terjadinya krisis multi dimensi berkepanjangan di negeri ini. Makanya jangan heran jika penertiban praktek-praktek prostitusi menjadi salah satu agenda penting pemerintah baik pusat maupun daerah akhir-akhir ini.

Tapi yang jadi pertanyaan, apakah dunia esek-esek akan berhenti total dengan tindakan represif oleh negara? Apakah setelah negeri ini bebas dari prilaku sex yang menyimpang, keadaan akan berubah damai dan sejahtera? Ataukah sebaliknya, gelombang sex justru semakin besar ketika bergerak di bawah tanah?

Tentu saja tak mudah untuk menjawabnya. Menurut Benedict Anderson dalam pengantar buku ini, seksualitas adalah hal yang sangat berliku-liku, ruwet dan kompleks. Hal ini dikarenakan seksualitas tak lagi netral. Keberadaannya, selalu berhadapan dengan tiga kekuatan yang maha besar, yakni; negara, agama dan kapitalisme (hal. xiv). Nah, buku yang ditulis Hatib Abdul Kadir ini mencoba mengurai kompleksitas seksualitas tersebut. Setidaknya ada tiga prilaku sex yang jadi bahasan utamanya, yakni telaah homoseks, pekerja seks, dan seks bebas.

Dipilihnya topik tersebut tentu saja tidak tanpa alasan. Harus diakui seksualitas menjadi perdebatan hangat belakangan ini di Indonesia. Betapa tidak, pasca reformasi buku-buku murahan dan sensasional tentang sex laku berat di pasaran, koran kuning bertebaran bak jamur di musim hujan, penelitian tentang sex juga tak kalah beraninya. Sebut saja, misalnya, Jakarta Under Cover karya Memoar Emka dan Sex in the Kost karya Iip Wijayanto.

Makanya tak heran jika studi tubuh dan seksualitas menyeruak secara cerdik ditengah-tengah maraknya berita politik, krisis ekonomi, hukum hingga kriminal (hal. 47). Namun dari berbagai kajian seksualitas, topik homoseks, pekerja seks, dan seks bebas kerap menjadi perdebatan panjang dalam media massa saat ini. Sehingga informasi yang tersedia cukup banyak dan mempermudah penggalian data secara mendalam.

Melalui buku ini, topeng-topeng kapitalisme yang menempel di area ’selangkangan’ dilepas dan sikap paradoksal negara terhadap prilaku seks menyimpang dibongkar. Dengan menggunakan analisa Michel Foucault mengenai seksualitas dan kuasa, terungkap, Misalnya, penertiban PSK jalanan dan pemaksaan melokalisasi PSK dengan alasan susila dan moralitas oleh pemerintah ternyata paradoks dengan keadaan di lapangan. Sebab tak jarang pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberadaan lokalisasi dengan berbagai alasan; ’demi meningkatkan pendapatan daerah’, ”membuka lapangan pekerjaan”, hingga sebagai ”stok” untuk ”menghibur” relasi bisnis atau pejabat yang doyan ”daun muda” (hal. 161).

Sementara itu, ditengah hiruk pikuk perdebatan mengenai seksualitas kapitalisme justru memancing di air keruh. Alih-alih mendukung kebijakan negara yang mendiskreditkan para pelaku seks menyimpang, kapitalisme justru membangun pasar. Ditengah tekanan negara terhadap kaum minoritas seksual, kapitalisme menciptakan produk-produk pronografi yang memiliki nilai jual seperti; majalah porno, agen hubungan homoseksual, biro jodoh termasuk juga seks toi (alat pemuas seks).

Sampai disini jelas bahwa upaya-upaya penertiban terhadap para PSK, razia majalah porno dan razia hotel-hotel mesum merupakan solusi yang boleh dikatakan buang-buang energi dan dana. Buktinya, ribuan kali dirazia, fenomena serupa selalu saja ada. Seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu. Satu-satunya solusi yang ditawarkan dalam buku ini adalah deregulasi negara yang melegalisasikan kesamaan hak terhadap homoseksualitas, pekerja seks dan pelaku seks bebas.

Solusi tersebut sekaligus menentang kalangan yang menuding maraknya perilaku seks yang menyimpang sebagai penyebab krisis multidimensi yang tak kunjung usai di negeri ini. Menurut Hatib Abdul Kadir tudingan tersebut tidak mendasar dan ahistoris. Jika benar krisis negara lebih disebabkan krisis moral keagamaan, mengapa tidak mendirikan semacam pesantren kilat secara massif dan sporadis saja? Dan setiap warga negara wajib masuk didalamnya. Namun, apakah hal tersebut menjamin, krisis akan selesai? Dan mengapa negara yang tak menganut perspektif moralitas agama layaknya Indonesia lebih mengalami keajuan peradaban, ekonomi dan religiusitas yang lebih bagus dan manusiawi dibanding Indonesia? (hal. 240)

Karenanya hadirnya buku ini berada di waktu yang tepat. Dalam nuansa demokratis saat ini penting kiranya memberikan suara lain mengenai seksualitas. Sebab memandang seksualitas dengan hitam putih justru tidak menyelesaikan masalah, melainkan justru menyimpan bom waktu berupa anomali sosial yang siap meledak kapan saja. Selamat membaca.


TENTANG PENULIS
Nurfa Rosanti adalah Santri di KIP (Komunitas Islam Pembebasan) Madura. Pengajar di SMP Darussyahid Sampang-Madura.

Kartini Sang Pemberontak

Kartini Sang Pemberontak
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Panggil Aku Kartini Saja
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan : Kedua, Juni 2006
Tebal : 304 Halaman


Buku Panggil Aku Kartini Saja ini merupakan salah satu dari sekian banyak karya Pram yang menggetarkan. Bagaimana tidak, tulisan Pram tentang Kartini bertolak belakang dengan pandangan umum selama ini. Di mata khalayak umum, kartini adalah anak Bupati Jepara. Seorang Pahlawan Nasional yang membuka jalan bagi emansipasi wanita. sedangkan karyanya yang terkenal adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan oleh Arjmin Pane.

Sedangkan pandangan Pram jauh melebihi kebanyakan orang. Kartini ditinjau dan dinilai dalam rangka sejarah Indonesia, maupun dunia luar. Tulisan-tulisannya ditafsirkan kembali sesuai dengan zamannya dimana kolonialisme mengalami puncak keagungannya dan feodalisme di pulau Jawa mempengaruhi segala bidang kehidupan.(Dr. Ny Hurustiati Subandrio, hal 8). Ini bisa dilihat dari bab awal buku ini yang mengambil ancang-ancang dari pasca perang Diponegoro, masa tanam paksa, dan masa politik etis.

Bukan itu saja. Sejarah di sekitar kartini ketika hidupnya disingkap sehingga tampak jelas melalui penggalian fakta sejarah mulai dari karya kartini sendiri, tulisan tentang kartini, bahan tentang semasa kartini dalam arti politik, social ekonomi sejarah, dan sastra serta lainnya.

Sehingga dalam buku setebal 304 halaman ini sosok Kartini lahir sebagai sosok ‘pemberontak’ sejati. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. (hal 67) dengan kata lain Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat. Tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan Kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan.

Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu yang asing jika kita membaca karya-karya Pram. Hampir semua karya Pram memosisikan diri sebagai pendobrak budaya feodal. Budaya yang menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik daripada yang sekarang. Tujuannya tak lain hanya untuk melanggengkan kastanya sendiri.

Dan mungkin karena itu pulalah, karya Pram di masa Orde baru merupakan sebuah karya yang paling di ‘benci.’ Karena secara tak langsung menohok tepat di jantung rezim orde baru yang sejatinya bernafas dan hidup dari pelestarian budaya feodalistik.

Meski begitu buku biografi Kartini ini pantas dibaca oleh ibu-ibu, remaja, guru, mahasiswa yang saat ini mulai melenceng jauh dalam menafsirkan kartini. Dimana Kartini identik dengan busana Jawa; Kebaya, kain panjang, dan gelung. Bahkan salah tafsir tersebut disebarkan melalui media cetak dan elektronik tanpa rasa bersalah. Seakan hendak mengaburkan realitas.

Buktinya, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hari besar kaum Perempuan seperti hari Kartini, Hari Ibu, diisi dengan kegiatan yang tak jelas manfaatnya. Lomba memasak, lomba merias wajah, hingga lomba kebaya ‘Kartini.’ Seakan-akan perjuangan Kartini untuk membuka jalan bagi emansipasi wanita berakhir sudah. Wanita Indonesia sudah bisa menikmati pendidikan sejajar dengan kaum pria.

Padahal saat ini perempuan Indonesia sekarang tengah mengalami kehancuran indentitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik, dan budayanya. Benar memang wanita saat ini sudah bisa menduduki posisi penting di pemerintahan atau perusahaan serta dapat mengambil keputusan sendiri.

Tetapi perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, hal 300).

Dengan kata lain, perjuangan Kartini belumlah usai. Kartini hanyalah orang pertama dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang mengadopsi aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertamakali muncul di Demak, Kudus dan Jepara. Kemudian diramu, dirumuskan, diperinci dan diperjuangkan untuk menjadi milik seluruh nation Indonesia (hal 14).

Semoga buku ini setidaknya mampu menjadi inspirasi bagi kita—khususnya kaum wanita—untuk merapatkan barisan dan melakukan perlawanan pada segala hal yang menindas. Karena sebenarnya itulah inti perjuangan Kartini. ***

TENTANG PERESENSI
Edy Firmansyah adalah Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/ Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FOKUS.

Minggu, 13 April 2008

Perpustakaan dan Perubahan Radikal John Wood


Perpustakaan dan Perubahan Radikal John Wood

Oleh: Edy Firmansyah


Judul : LEAVING MICROSOFT TO CHANGE THE WORLD: Kisah
Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia
Penulis : John Wood
Penerjemah : Widi Nugroho
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : x + 368 Halaman


Hal yang paling ditakuti manusia sebenarnya adalah perubahan radikal dalam hidup, demikian kata Soren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark. Mungkin itulah sebabnya manusia lebih suka mempertahankan ‘mati-matian’ keadaan status quo. Sebab dengan status quo mereka yang telah duduk dalam gelimang kemapanan, kuasa, kejayaan dan kekayaan akan tetap dapat menikmati semua itu bahkan sampai tujuh turunan.

Tapi berbeda dengan John Wood. Pernyataan Soren Kierkegaard diatas justru dianggap sebagai tantangan. Di tengah usia kerjanya yang mencapai sembilan tahun di Microsoft, ditengah karirnya sebagai direksi pemasaran perangkat lunak merangkak naik, ditengah berbagai kekayaan dan fasilitas dia dapat dengan mudah sebagai eksekutif muda di perusahaan besar yang prestisius itu, John Wood memilih mundur. Meninggalkan semua fasilitas dan kemewahan yang dia dapat dari keringatnya sendiri.

Apa yang membuatnya mengambil keputusan yang oleh banyak orang dianggap ’gila’ itu? Buku memoar berjudul Leaving Microsoft To Change The World; Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia ini memberikan jawabannya. Berawal dari menghabiskan liburan panjang dengan berjalan kaki selama 21 hari di Pegunungan Himalaya. John Wood bertemu dengan Pasupathi, laki-laki paruh baya asal Nepal yang berkerja sebagai pegawai negeri di dinas pendidikan Propinsi Lamjung, Nepal.

Dari Pasupathi itulah John Wood mengetahui bahwa angka buta huruf di Nepal mencapai 70 persen, merupakan angka yang tertinggi di dunia. Tapi kondisi tersebut bukan karena orang Nepal terkenal malas. Melainkan karena masyarakat dan pemerintah terlalu miskin untuk mengupayakan cukup sekolah, guru, dan buku-buku bagi penduduk yang jumlahnya bertambah dengan cepat (hal. 6).

Rasa kemanusiaan John Wood semakin menggelora ketika menyaksikan sendiri salah satu kondisi sekolah di Desa Bahundanda, ketika turut serta dalam kunjungan rutin Pasupathi. Dalam kunjungan itu Kepala sekolah menunjukkan perpustakaan sekolah. Memang sebuah tulisan di luar pintu dengan bangga terbaca PERPUSTAKAAN SEKOLAH, tetapi di dalam, ruangan itu kosong dan satu-satunya yang menutupi dinding adalah peta dunia yang usang. Tak satupun buku terlihat.

Memang ada beberapa buku yang sengaja disimpan agar anak-anak tidak merusak barang berharga itu. Ironisnya, buku yang disimpan tersebut adalah buku-buku vulgar yang dibuang para pelancong beransel yang tentunya tak layak dibaca (baik secara fisik maupun intelektual) oleh murid-murid belia itu. Misalnya saja, cerita roman Danielle Steel dengan sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berpelukan erat penuh gairah dan setelah telanjang di sampul mukanya, sebuah novel Umberto Eco berjudul Lonely Planet Guide to Mongolia yang ditulis dalam bahasa Italia.(hal. 13)

Berdasarkan fakta itulah kemudian John Wood melakukan perubahan radikal itu. Mendirikan sebuah proyek perpustakaan. Nama resminya Books for Nepal. Namun nama ini akhirnya diubah menjadi Room To Read. Kehidupannya pun berubah total, dari seorang eksekutif muda sebuah perusahaan prestisius menjadi laki-laki pengangguran yang mendirikan perpustakaan di Himalaya.

Dipilih proyek perpustakaan itu tentu saja tidak tanpa alasan. Sejak kecil John Wood adalah pembaca yang rakus. Sebagaimana diakui sendiri; “Ingatan saya yang paling awal dan paling terang adalah membaca. Menjelang tidur, saya selalu mendesak agar dibacakan berulang-ulang karya-karya Dr. Seuss: Go, Dog! Go!; Green Eggs and Ham; There’s a Wocket in my Pocket! Selama dalam perjalanan panjang dengan keluarga di dalam mobil. Bahkan kegilaan saya terhadap bacaan tak bisa diimbangi dengan anggaran orang tua yang sangat terbatas. kegemaran membaca, dan mengeksplorasi dunia baru begitu mendominasi kehidupan saya, karenanya saya tidak bisa membayangkan masa kecil saya tanpa buku,” (hal. 20-21).

Meski jalan yang dipilihnya bukan jalan yang mulus, Wood mampu mewujudkan impiannya. Proyeknya berkembang pesat. pelajaran penting yang didapat selama brada di Microsoft terus diterapkan, yakni berpikir besar. Organisasi amalnya tidak hanya membangun satu dua sekolah dengan perpustakaan lengkap. Tetapi—meniru Andrew Carnegie—John Wood mampu mendirikan sekitar 3600 perpustakaan di dunia ketiga. bermula dari Nepal, organisasi itu berkembang ke Negara Kamboja, Vietnam, hingga India.

Menariknya, dalam buku ini kita tak hanya disuguhi tentang kisah keberanian untuk berubah demi panggilan kemanusiaan, tetapi juga bagaimana cara mengelola bisnis mulai dari nol. Sungguh merupakan buku yang cukup memikat. Terlebih lagi, buku ini ditulis oleh seorang penggila buku. Sehingga membacanya seakan-akan kita sedang menyaksikan sendiri perjalanan hidup John Wood.

Karenanya hadirnya buku ini justru sangat tepat. Negeri ini memerlukan ratusan ‘John Wood’ untuk percepatan menuju perubahan. Bukan saja di bidang bisnis mandiri, tetapi juga dunia literal. Pasalnya, dunia literasi kita justru penuh dengan paradoks. Benar memang pemerintah telah gembar-gembor bahwa negeri ini bebas buta aksara, tapi nyata kondisi perpustakaan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia sangat memperihatinkan. Parahnya lagi, harga buku bacaan kian hari kian tak terjangkau. Padahal buku adalah jendela dunia. Lewat buku-buku imajinasi anak bangsa dikembangkan untuk kemajuan negerinya. Karenanya diperlukan ribuan perpustakaan gratis yang bisa diakses semua masyarakat. Masalahnya, siapa yang akan memulai?

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pencinta Buku. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura.

Sisi Lain Perempuan Arab (Dimuat di MEDIA INDONESIA, 12 April 2008)




Sisi Lain Perempuan Arab


Oleh: Edy Firmansyah

Judul : The Princess Sultana’s Daughters
Penulis : Jean P Sasson
Penerjemah : Milfana
Penerbit : RAMALA BOOKS (Ufuk Press Groups), Jakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xvi+386 Halaman

Membicarakan penindasan terhadap perempuan memang tak akan pernah usai. Berdasarkan riset, terungkap fakta bahwa setiap 6 jam terjadi kasus perkosaan seksual terhadap perempuan. Belum lagi kasus yang tidak pernah disadari orang sebagai kasus yakni pelecehan seksual, tampaknya sudah menjadi kegiatan spontanitas yang dilakukan dimana-mana. Daftar penindasan bisa bertambah panjang kalau kita memasukkan kasus perdagangan perempuan sebagai budak seks. Hal ini dikarenakan kentalnya sistem Patriakat yang dianut hampir semua negara di dunia, dimana perempuan tak lebih sebagai pelengkap, baik dalam kehidupan keluarga maupun negara.

Parahnya kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan nyaris di semua negara mengalami hal serupa. Termasuk di Arab Saudi. Benarkah? Sepintas tudingan bahwa Arab Saudi merupakan negeri yang turut serta dalam penindasan terhadap perempuan diragukan. Dalam tradisi Arab, seorang perempuan tidak diperkenankan membuka jilbab (baca:cadar) sejak menginjak masa puber. Nah, Jilbab itulah yang menjadi perisai bagi perempuan dari ’tangan jahil’ laki-laki.

Namun faktanya tidaklah demikian. Menurut Jean Sasson, penuli buku ini, dibalik jilbab yang serba ketat, perempuan Arab justru mengalami penderitaan akibat penindasan dari sistem Patriakat yang tak kalah pedihnya dengan penderitaan perempuan Indonesia yang cenderung pluralis.

Salah satunya nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah sementara atau lebih sebuah ’pernikahan untuk bersenang-senang,” yang biasa dipraktekkan oleh sebagian orang Arab. Pernikahan tersebut bisa terjalin selama satu jam atau bahkan mungkin sembilan puluh sembilan tahun, tergantung kesepakan kedua belah pihak. Jika kontrak selesai, secara otomatis pasangan akan bercerai tanpa formalitas perceraian. Kelompok Islam Suni yang mendominasi Arab saudi memandang pernikahan semacam ini tak lebih sebagai pelegalan prostitusi. Akan tetapi, tidak ada otoritas resmi yang dapat melarang seseorang yang akan melakukan nikah Mut’ah. Bahkan kelompok Syiah kerap mengutip beberapa ayat pendek dan dua atau tiga baris hadis untuk melegitimasi pernikahan ini (hal. 37-38).

Korbannya tentu saja perempuan-perempuan belia yang baru beranjak puber dari keluarga miskin dan tidak terpelajar. Demi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, kebanyakan masyarakat miskin rela menjual anak gadisnya untuk melakukan Nikah Mut’ah dengan orang-orang kaya. Termasuk juga diantaranya para pejabat dan keluarga dekat kerajaan Arab Saudi.

Selain nikah mut’ah satu hal lagi yang membuat hak kaum perempuan Arab dikebiri adalah dibentuknya badan sensor. Pemerintah Arab Saudi bahkan mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk membentuk badan sensor dalam jumlah yang sangat banyak. Dalam badan sensor itu semua pegawainya berjenis kelamin laki-laki. Mereka duduk di kantor-kantor pemerintahan, mengamati apa yang mereka pandang menjijikkan tentang perempuan dan seks di setiap publikasi yang masuk ke Arab Saudi. (hal. 79). Untuk mengonrol sikap dan prilaku kaum hawa, dibentuk juga ’polisi moral’ atau ’polisi agama’, kadang disebut mutawwa. Anggota adalah para laki-laki. Mereka melakukan tugas mengawasi gerak gerik kaum perempuan di seluruh Arab saudi. Polisi ini berpatroli di kota-kota mencari perempuan-perempuan yang tidak bercadar dan memukul mereka dengan tongkatnya atau menyemprotnya dengan tinta merah. Polisi ini juga memiliki hak untuk menahan perempuan yang dianggap melanggar etika moral dan kosopanan.

Pertanyaannya sekarang apakah dengan kontrol yang ketat terhadap kehidupan perempuan sebuah negeri akan hidup dengan damai? Nyatanya tidak. Melalui buku ini Jean P. Sasson hendak mengatakan—Mengutip Durkhaeim—ketika semua bentuk ekpsresi dan penyaluran emosi secara normal terkunci rapat yang lahir justru ketidaknormalan.

Ketika hubungan laki-laki dan perempuan yang belum menikah dilarang bertemu satu dengan lain oleh hukum agama yang terjadi adalah ketegangan seksual di antara sesama jenis menjadi sesuatu yang biasa. Ya, di arab Saudi hubungan homoseksual terus merajalela. Bahkan Putri Sultana, tokoh utama dalam buku ini, yang bernama Maha juga mengalami hal serupa.

Disamping itu, ketidaknormalan lain yang muncul akibat terlalu ketatnya kontrol terhadap kehidupan perempuan adalah lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras. Kelompok ini kerap menggunakan segala cara agar semua peraturan Islam bisa ditegakkan di muka bumi ini. Termasuk juga dengan jalan mencelakai manusia lain. Itu pula yang dialami Amani, putri kedua Sultana.

Sejatinya buku ini merupakan kelanjutan dari buku laris berjudul ”Princess: Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi.” Jika, buku pertama menggambarkan kehidupan masa kecil Putri Sultana, maka buku ini menggambarkan kisah kehidupan anak-anak perempuannya dan perempuan arab lain dalam nuansa ketatnya sistem Patriakat secara lebih personal. Buku ini adalah sebuah kisah nyata yang ditulis dengan cukup memikat dalam bentuk novel sehingga pembacanya dapat merasakan emosi dari masing-masing tokoh dalam buku ini.

Meski menggunakan sudut pandang wanita kerajaan Arab Saudi, setidaknya buku ini masih mampu mewakili betapa kejinya penindasan terhadap perempuan miskin yang dilakukan pemerintahan Arab Saudi. Sungguh buku yang layak dibaca, bukan hanya bagi mereka yang menganggap Arab, tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan Mekkah-nya merupakan negeri ’surga’ yang penuh kedamaian, melainkan bagi siapa saja yang peduli nasib perempuan.

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/