WAKTU

KOLEKSI BUKU

Kamis, 17 April 2008

Kartini Sang Pemberontak

Kartini Sang Pemberontak
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Panggil Aku Kartini Saja
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan : Kedua, Juni 2006
Tebal : 304 Halaman


Buku Panggil Aku Kartini Saja ini merupakan salah satu dari sekian banyak karya Pram yang menggetarkan. Bagaimana tidak, tulisan Pram tentang Kartini bertolak belakang dengan pandangan umum selama ini. Di mata khalayak umum, kartini adalah anak Bupati Jepara. Seorang Pahlawan Nasional yang membuka jalan bagi emansipasi wanita. sedangkan karyanya yang terkenal adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan oleh Arjmin Pane.

Sedangkan pandangan Pram jauh melebihi kebanyakan orang. Kartini ditinjau dan dinilai dalam rangka sejarah Indonesia, maupun dunia luar. Tulisan-tulisannya ditafsirkan kembali sesuai dengan zamannya dimana kolonialisme mengalami puncak keagungannya dan feodalisme di pulau Jawa mempengaruhi segala bidang kehidupan.(Dr. Ny Hurustiati Subandrio, hal 8). Ini bisa dilihat dari bab awal buku ini yang mengambil ancang-ancang dari pasca perang Diponegoro, masa tanam paksa, dan masa politik etis.

Bukan itu saja. Sejarah di sekitar kartini ketika hidupnya disingkap sehingga tampak jelas melalui penggalian fakta sejarah mulai dari karya kartini sendiri, tulisan tentang kartini, bahan tentang semasa kartini dalam arti politik, social ekonomi sejarah, dan sastra serta lainnya.

Sehingga dalam buku setebal 304 halaman ini sosok Kartini lahir sebagai sosok ‘pemberontak’ sejati. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. (hal 67) dengan kata lain Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat. Tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan Kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan.

Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu yang asing jika kita membaca karya-karya Pram. Hampir semua karya Pram memosisikan diri sebagai pendobrak budaya feodal. Budaya yang menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik daripada yang sekarang. Tujuannya tak lain hanya untuk melanggengkan kastanya sendiri.

Dan mungkin karena itu pulalah, karya Pram di masa Orde baru merupakan sebuah karya yang paling di ‘benci.’ Karena secara tak langsung menohok tepat di jantung rezim orde baru yang sejatinya bernafas dan hidup dari pelestarian budaya feodalistik.

Meski begitu buku biografi Kartini ini pantas dibaca oleh ibu-ibu, remaja, guru, mahasiswa yang saat ini mulai melenceng jauh dalam menafsirkan kartini. Dimana Kartini identik dengan busana Jawa; Kebaya, kain panjang, dan gelung. Bahkan salah tafsir tersebut disebarkan melalui media cetak dan elektronik tanpa rasa bersalah. Seakan hendak mengaburkan realitas.

Buktinya, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hari besar kaum Perempuan seperti hari Kartini, Hari Ibu, diisi dengan kegiatan yang tak jelas manfaatnya. Lomba memasak, lomba merias wajah, hingga lomba kebaya ‘Kartini.’ Seakan-akan perjuangan Kartini untuk membuka jalan bagi emansipasi wanita berakhir sudah. Wanita Indonesia sudah bisa menikmati pendidikan sejajar dengan kaum pria.

Padahal saat ini perempuan Indonesia sekarang tengah mengalami kehancuran indentitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik, dan budayanya. Benar memang wanita saat ini sudah bisa menduduki posisi penting di pemerintahan atau perusahaan serta dapat mengambil keputusan sendiri.

Tetapi perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, hal 300).

Dengan kata lain, perjuangan Kartini belumlah usai. Kartini hanyalah orang pertama dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang mengadopsi aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertamakali muncul di Demak, Kudus dan Jepara. Kemudian diramu, dirumuskan, diperinci dan diperjuangkan untuk menjadi milik seluruh nation Indonesia (hal 14).

Semoga buku ini setidaknya mampu menjadi inspirasi bagi kita—khususnya kaum wanita—untuk merapatkan barisan dan melakukan perlawanan pada segala hal yang menindas. Karena sebenarnya itulah inti perjuangan Kartini. ***

TENTANG PERESENSI
Edy Firmansyah adalah Kerani di http://www.kelanabuku.blogspot.com/ Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FOKUS.

Tidak ada komentar: