WAKTU

KOLEKSI BUKU

Sabtu, 22 Maret 2008

Wajah Buram Kemakmuran Cina



Wajah Buram Kemajuan Cina
Oleh: Edy Firmansyah




Judul : China Undercover; ”Rahasia” di Balik Kemajuan Cina
Penulis : Chen Guidi dan Wu Chuntao
Penerjemah : Lulu Rahman
Penerbit : UFUK PRESS, Jakarta
Cetakan : I, November 2007
Tebal : xxvi + 362 Halaman




Apa yang anda ketahui tentang Cina? Ketika pertanyaan tersebut diajukan maka jawaban yang paling umum adalah kisah kesuksesan. Negara di Asia yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia ini, dan tetap menjadikan Komunis sebagai ideologi negara, kini melesat menjadi salah satu negara dengan perekonomian yang maju dengan pesat.


Bahkan banyak kalangan yang meramalkan bahwa Cina akan menjadi kekuatan besar berikutnya hingga pada akhirnya Cina akan melampaui Amerika sebagai raksasa ekonomi dunia. Apa resepnya? Tonggak perubahan itu adalah reformasi agraria sejak 1978. Tanah yangsemula dikuasai secara kolektif dibagikan merata pada setiap keluarga. Petani menerima upah pada akhir tahun bukan berdasar keterlibatannya dalam kegiatan kolektif, melainkan menurut tingkat produktivitasnya. Mereka bebas menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan, bahkan bisa menguasai tanaman tambahan setelah memenuhi kuota bibit yang ditetapkan. Lebih lanjut, petani membayar pajak ketimbang menyerahkan kuota tertentu kepada kolektivitas. Dengan reformasi agraria ini, petani memiliki akses perorangan, memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan. Hal ini mendorong gairah bekerja, iklim kompetisi dan produktivitas.(Yudi Latif, Kompas 8/01/07).

Tapi buku yang ditulis pasangan suami istri Chen Guidi dan Wu Chuntao yang berjudul China Undercover; Rashasia dibalik Kemajuan Cina ini justru menepis penyataan diatas. Menurut Chen dan Wu kisah kebangkitan Cina yang kini tengah digembar-gemborkan banyak kalangan dan pakar ekonomi dunia justru dibangun dari berbagai penindasan terhadap petani.

Pada tahun 1993, misalnya, tulis Chen dan Wu, badan legislatif Cina bersumpah akan membatasi pajak-pajak menjadi lima persen dari pendapatan petani, tetapi dalam waktu satu tahun, berbagai pajak dan biaya justru menjerumuskna petani dalan utang. Sepuluh tahun sebelumnya, pemeritnah berjanji menyisihkan 18 persen anggarannya untuk layanan-layanan pedesaan. Tetapi kenyataannya, jumlahnya bakan tidak pernah mendekati angka tersebut; di tahun 2005 yang disisihkan hanya 9 persen. Sementara itu, pejabat birokrasi Cina, yang sebagian besar dari mereka bekerja di pedesaan, berkembang jumlahnya dari 2,2 juta di tahun 1979 menjadi lebih dari 10 juta pada saat ini. Perdana Menteri Wen tidak mengatakan bagaimana sekarang mereka akan dibiayai mengingat para petani tidak harus membayar pajak lagi. Tetapi kesimpulan logis yang bisa didapat siapapun, petanilah yang harus membayarnya.(John Pomfret, xxii).

Tapi anehnya, suara-suara perlawanan kaum tani justru tak terdengar oleh media (atau sengaja tidak diungkap?). Karenanya menurut penulis buku ini, China Undercover merupakan sebuah pengungkapan terhadap ketidaksamaan dan ketidakadilan yang mendera rakyat jelata, para petani, yang jumlahnya sekitar 900 juta jiwa. Buku ini menggambarkan lingkaran setan yang menjerat rakyat jelata, terutama para petani di Cina, dimana penerapan pajak yang tidak adil dan tindakan sewenang-wenang kadang-kadang menimbulkan kekejaman yang ekstrim terhadap mereka.

Meski begitu tidak semua masalah menjadi bahasan utama buku ini. Buku ini hanya memuat serangkaian masalah yang secara umum merujuk pada Triple-Agri (San-Nong): masalah pertanian, masalah wilayah pedesaan dan masalah petani. Semua masalah yang dibahas telah melewati penelitian dan investigasi yang mendalam. Meskipun demikian buku ini tidak kaku dan ’berat’ sebagaimana buku penelitian pada umumnya. Sebab buku ini dikemas dalam bentuk cerita sastra. Sehingga kisah yang disajikan dalam buku ini sungguh memikat. Maklum Chen dan Wu sebenarnya bukan orag asing dalam dunia tulis menulis. Keduanya adalah anggota dan penulis terkemuka dalam asosiasi sastra Hefei.

Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dari semua bagian itu hampir semuanya berkisah tentang penindasan yang dilakukan penguasa setempat terhadap petani. Seperti pada bagian pertama buku ini. Bab itu berkisah kisah sang martir bernama Ding Zioming, petani biasa yang berasal dari Desa Luying, Kecamatan Jiwangchang, Kabupaten Luxin, Propinsi Anhui. Dialah sang pemula. Orang pertama yang melakukan perlawanan dengan melaporkan beban pajak yang berlebihan yang dibebankan pada petani di wilayahnya. Dan Ding harus berhadapan dengan tangan besi kekuasaan. Dia dipukuli sampai tewas.

Membaca buku ini seakan-akan kita sedang membaca tentang negeri sendiri. Penindasan terhadap rakyat miskin dan petani yang dilakukan penguasa masih berlangsung hingga saat ini. Mulai dari perampasan lahan, penggususran dan melonjaknya harga kebutuhan pokok. Tapi bukan buku yang baik jika semua isinya hanyalah keritikan tanpa memberi solusi. Dan buku ini terhindar dari semua itu. Pada bagian akhir yang berjudul mencari jalan keluar Chen dan Wu memberikan sedikit solusi. Semua solusi merupakan hasil wawancara dari para pakar baik pakar ekonomi maupun sosiologi. Seakan-akan buku ini tak hendak bertindak jumawa. Sebab keputusan untuk merubah keadaan, berada di tangan pemerintah.

Sebuah buku yang mencerahkan. Sebab dengan hadirnya buku ini Cina tak lagi dipandang dengan hitam putih. Buku yang layak dibaca saya rasa. Tak hanya oleh mereka yang ingin mengetahui Cina dari berbagai sudut pandang. Tetapi bagi siapapun yang hendak melakukan perubahan.

*) Resensi ini dimuat di Majalah FOKUS, Tahun ke I Edisi V, 2007


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Artikelnya tersebar di Media Lokal dan Nasional antara lain; JAWA POS/INDOPOS, KOMPAS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), SINDO Edisi SORE, PONTIANAK POST, BANJARMASIN POST, BATAM POS, SURABAYA PAGI, KORAN PAK OLES (KPO), RADAR SURABAYA, http://www.cybersastra.net/, http://www.pintunet.com/, http://www.sukainternet.com/, dll.

Tidak ada komentar: