WAKTU

KOLEKSI BUKU

Sabtu, 22 Maret 2008

Quo Vadis Pendidikan Guru



Quo Vadis Pendidikan Guru Indonesia*)
Oleh: Edy Firmansyah


Judul : Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool Sampai ke
IKIP: 1852-1998
Penulis : Mochtar Buchori
Penerbit : INSIST Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : xiv, 206 Halaman

Idealnya guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Fokus utamanya adalah kebenaran, keadilan, spiritualitas dan cinta kasih dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya tanpa pandang bulu. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian subtansinya adalah pahlawan.


Nah, berdasarkan tatanan ideal itulah seringkali guru menjadi kambing hitam ketika anak-anak didiknya melakukan hal yang dinilai merugikan masyarakat. Ketika marak tawuran antar pelajar, prilaku sex bebas dikalangan siswa, kekerasan pada siswa dalam sekolah hingga kasus percobaan bunuh diri pada siswanya, gurulah yang langsung dituding gagal dan “tidak becus” dalam mengemban tugasnya mendidik generasi penerus bangsa
Ironisnya lagi, tudingan tersebut seringkali disertai pandangan bahwa guru-guru hasil pendidikan guru di masa lampau, terutama di masa Hindia Belanda, dirasakan lebih ‘kompeten’ dan lebih ‘profesional’ daripada guru-guru hasil pendidikan lembaga-lembaga pendidikan guru kita akhir-akhir ini. (hal. ix)


Benarkah demikian? Buku ini mencoba menelusuri evolusi pendidikan guru di Indonesia, khususnya perkembangan dalam cara berbagai lembaga pendidikan guru di masa lampau mempersiapkan mereka untuk menjadi “guru yang kompeten.” Focus utaama buku ini adalah perkembangan konsep “kompetensi mengajar” (teaching competence) dan bagaimana konsep tersebut diejawantahkan dalam program pendidikan dalam sekolah guru.


Setidaknya ada empat tahapan dalam evolusi sistem pendidikan guru di Indonesia yang dibahas dalam buku ini. Pertama, system segregatif. Yakni pendidikan guru zaman Hindia Belanda (Bab II). Kemudian sistem egaliter. Yakni periode pendidikan guru pada zaman pendudukan Jepang (Bab III). Berikutnya, rehabilitasi sistem. Yang membahas pendidikan guru pada era 1945-1949 (bab IV). Selanjutnya ekspansi sistem, yakni Pendidikan guru pada periode 1950-1965 (bab V). Yang terakhir adalah babak modernisasi, rasionalisasi dan ambivalensi yang mengupas pendidikan guru pada periode 1966-1998 (bab VI).


Dari tahapan tersebut diketahui bahwa Kweekscholl adalah sekolah guru pertama yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1852, sedangkan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) adalah lembaga pendidikan guru pertama pada jenjang perguruan tinggi yang didirikan pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1954. awalnya lembaga itu bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Pada tahun 1963 melalui keputusan Presiden nama PTPG diubah menjadi IKIP. Dan pada tahun 1998 mulai terjadi konversi dari 12 IKIP yang ada menjadi Uni versitas sepenuhnya (full fledged university) dengan nama “Universitas Pendidikan” (bandung) atau “Universitas Negeri” (Medan, Padang, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, malang, Makassar dan Menado) (hal. 2).


Apa yang bisa ditarik dari pembabakan tersebut? Melalui buku ini pembaca dicoba disadarkan—meminjam istilah Karl Marx—bahwa tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Begitu juga dengan sistem pendidikan guru. Dengan kata lain, kopetensi guru terkait erat dengan sosio-historis yang membayangi zamannya. Artinya, guru pada zaman Hindia Belanda belum tentu kompeten jika diminta mengajar siswa pada zaman mondial seperti saat ini.


Nah, apabila kita menginginkan lahirnya kembali profesionalisme yang realistik, maka kita harus memberi kesempatan kepada guru-guru kita untuk membangun kultur keguruan baru yang sesuai dengan kenyataan sosio-kultural yang ada sekarang dan yang akan muncul di masa depan.(hal.190)


Prilaku birokrat kita yang kerap menggunakan konsep ganti pemerintahan ganti sistem pendidikan jelas tak dapat dibenarkan. Sebab terbukti, pergentian system demi kepentingan politis tidak menyelesaikan masalah. Justru menimbulkan masalah baru dalam dunia pendidikan. Dan lagi-lagi guru yang menjadi korban.
Namun bicara mengenai profesionalisme guru tanpa diimbangi dengan upaya mensejahteraan kehidupan guru adalah munafik.. Penghargaan yang tinggi selalu berbanding lurus dengan profesionalitas. Dalam teori behaviorism disebutkan bahwa perbuatan yang mengenakkan atau positif akan cenderung diulang manakala mendapatkan reinforcement (penghargaan).


Lalu sistem yang seperti apa yang mampu meningkatkan profesionalisme guru di negeri ini? Sayang buku ini tidak membahas dengan cukup detail. Dan ini menjadi sedikit kelemahan dari buku ini. Meski demikian, secara keseluruhan buku ini telah mengenai sasarannya. Bahwa tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan itu sendiri. Dan guru yang masih menganggap bahwa cara mengajar yang diperolehnya saat mengenyam pendidikan sudah paten adalah guru yang sebenarnya sudah kalah sebelum bertanding. Sungguh sebuah ironi jika sikap tersebut dipertahankan.***

*) Resensi ini dimuat di Harian SEPUTAR INDONESIA, Minggu 19 Agustus 2007)


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Artikelnya tersebar di Media Lokal dan Nasional antara lain; JAWA POS/INDOPOS, KOMPAS, MEDIA INDONESIA, SURYA, BANJARMASIN POST, BATAM POS, SURABAYA PAGI, KORAN PAK OLES (KPO), RADAR SURABAYA, http://www.cybersastra.net/, http://www.pintunet.com/, http://www.sukainternet.com/, dll.

Tidak ada komentar: